Kamis, 16 Mei 2013

Sejarah Islam: Aurangzeb Alamgir, Raja Kerajaan Islam Mughal di India


Di masa abad pertengahan,
setidaknya
ada dua kerajaan besar Islam yang
menguasai sebagian besar wilayah
dunia; Kerajaan Utsmani di Turki dan
Kerajaan Mughal di India. Banyak data-
data sejarah yang telah membahas
tentang kerajaan Turki Utsmani yang
begitu fenomenal, namun sangat sedikit
tulisan-tulisan yang mengisahkan
bagaimana kerajaan Mughal itu.
Mughal adalah kerjaan Islam di anak
benua India, dengan Delhi sebagai ibu
kotanya, beridiri antara tahun 1526
-1858 M.

Kerajaan ini didirikan oleh
Zahiruddin Muhammad Babur. Di antara
raja-raja Mughal yang membawa
kerajaan ini mencapai masa
keemasannya adalah Aurangzeb Alamgir
yang memerintah 1658 – 1707 M.
Dalam sejarah, ia terkesan sebagai sosok
yang kontroversial, seorang raja yang
agamis, namun di sisi lain sebagian
sejarawan mengatakan kebijakan-
kebijakannya sangat bertentangan
dengan apa yang ia yakini; seperti
intoleran, merusak tempat-tempat
ibadah agama lain, dsb. Begitulah saat
kita membaca sejarah, selalu ada kubu
yang pro dan yang kontra.
Para sejarawan membaca rekam jejak
pemerintahan Islam di India, maka
perspektif mereka sangat membentuk
opini mereka dalam menyajikan sejarah.
Sebagian orang melihat seorang tokoh
sejarah sebagai tokoh besar yang
menginspirasi, namun sebagian yang
lain bisa jadi malah menganggap tokoh
yang sama sebagai seorang tiran.
Orang-orang Hindu dan Sikh
menganggap Aurangzeb sebagai sosok
seorang raja yang kejam dan bengis,
mengekang kebebasan, dan intoleran.
Sebaliknya, orang-orang Islam
menganggapnya sebagai profil
pemimpin yang agamis dan adil.
Pembahasan kali ini akan menyibak
retorika tersebut, mendudukkan dan
memberikan penjelasan tentang
Aurangzeb sebagai seorang raja muslim
yang memerintah sebuah negeri yang
mayoritas masyarakatnya adalah orang-
orang Hindu.
Latar Belakang Aurangzeb
Untuk mengetahui seperti apa
Aurangzeb, penting bagi para pembaca
untuk mengetahui secara utuh masa
pemerintahan Aurangzeb selama 49
tahun. Kerajaan Mughal menguasai
India sejak masa kepemimpinan Babur
pada tahun 1526 M. 150 tahun
kemudian, Aurangzeb menduduki
puncak tahta, sebagai raja kerajaan
Mughal. Saat itu, Mughal mencapai
puncak kejayaannya. KerAjaan ini
menguasai anak benua India dan
kerajaan terkaya di dunia kala itu.
Sebenarnya, kejayaan kerajaan telah
dirintis pendahulunya semenjak
pemerintahan Raja Akbar, Jehangir, dan
Syah Jehan. Shah Jahan adalah ayah dari
Aurangzeb, ialah yang membangun Taj
Mahal di Agra. Ayahnya memilihkan
guru-guru terbaik untuk mendidiknya
sejak kecil. Di usia kanak-kanak,
Aurangzeb mendalami Alquran, hadis,
dan cabang-cabang ilmu keislaman
lainnya. Ia memiliki semangat yang luar
biasa dalam membaca, kemampuan
membaca dan menulis dalam bahasa
Arab, Persia, dan Turki-nya pun luar
biasa. Aurangzeb juga dilatih agar
pandai dalam menulis kaligrafi,
beberapa karya kaligrafinya masih bisa
temui saat ini.
Mendakwahkan Islam
Salah satu cita-cita luhur yang
diidamkan Aurangzeb adalah melandasi
pemerintahan kerajaan Mughal dengan
ajaran Islam yang murni. Raja-raja
sebelumnya, walaupun mereka muslim,
tidak menerapkan syariat Islam secara
kafah dalam pemerintahan mereka.
Contohnya adalah sang kakek, Raja
Akbar, dalam kehidupan dan
pemerintahannya, sang kakek sering kali
menentang prinsip ajaran Islam dengan
mengadopsi tata nilai; akidah dan
amalan yang bukan berasal dari Islam.
Cita-cita Aurangzeb ini diilhami oleh
pendidikan dan keyakinannya yang kuat
akan ajaran Islam.
Aurangzeb menjadi raja Mughal sebelum
ayahnya mangkat. Meskipun ia sangat
menghormati ayahnya, namun
Aurangzeb cukup vokal menentang
kebijakan-kebijakan ayahnya, seperti
gaya hidup yang boros dan berlebih-
lebihan. Di antara kebijakan sang ayah
yang ia kritik adalah pembangunan Taj
Mahal, sebuah makam yang dibangun
oleh ayahnya untuk mendiang ibunya,
Mumtaz Mahal. Menurut Aurangzeb,
pembangunan makam tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Islam yang melarang meninggikan
bangunan di atas makam, dan tentu
saja hiasan dan ornamen-ornamen Taj
Mahal pasti membutuhkan biaya yang
besar. Ia menyatakan, “Meninggikan
bangunan di atas makam adalah
sesuatu yang ilegal, dan tidak diragukan
lagi hal itu merupakan pemborosan
(sesuatu yang mubadzir).” Ia juga
lantang menyerukan larangan
mengagungkan kuburan-kuburan
tokoh-tokoh agama karena yang
demikian menurutnya adalah praktik
pengkultusan terhadap penghuni kubur
dan sangat jauh dari tuntunan syariat
Islam.
Untuk mewujudkan penerapan syariat
Islam dalam pemerintahannya,
Aurangzeb berupaya mengumpulkan
jurnal-jurnal fikih menjadi sebuah buku
yang sistematis sehingga mudah untuk
dijadikan acuan. Ia juga memfasilitasi
ratusan cendekiawan muslim dari
berbagai penjuru negeri untuk
memformulasikan fikih Islam. Hasilnya
adalah sebuah buku fenomenal dalam
fikih Hanafi yang berjudul Fatawa al-
Amgiri atau juga dikenal dengan Fatawa
al-Hindiya yang merupakan ikhtisar dari
fikih Madzhab Hanafi.
Buku ini kemudian disebarkan ke
penjuru wilayah Mughal agar dijadikan
panduan hukum dan memberantas
penyakit-penyakit sosial, seperti:
mabuk-mabukan, perjudian, dan
prostitusi yang memang berusaha
dihabisi oleh kerajaan. Pungutan pajak
yang tidak sesuai syariat juga ia
hapuskan, padahal tata perpajakan ini
sudah sejak dulu dipratikkan oleh
kerajaan Mughal.
Untuk mem-back up pendapatan besar
yang sebelumnya diperoleh dari pajak,
Aurangzeb mengurangi gaya hidup
mewah yang dipratikkan para raja
sebelumnya. Ia tidak tinggal di istana
mewah seperti yang dilakukan oleh
ayahnya, tradisi-tradisi kerajaan yang
dianggap menghambur-hamburkan
uang dihapuskan; seperti pentas musik
dan perayaan ulang tahun raja.
Sikap Aurangzeb Terhadap Masyarakat
Hindu dan Sikh
Telah kita ketahui prestasi-prestasi dan
sosok Aurangzeb yang begitu religius,
namun ada beberapa sejarawan dan
akademisi berpendapat bahwa
Aurangzeb hanyalah seorang raja yang
mewarisi kekerasan dan intoleran. Ia
juga disebut sebagai penghancur kuil
dan raja yang selalu berusaha
mengeliminasi orang-orang non-muslim
dari wilayah kekuasaannya. Benarkah
demikian?
Sikap Aurangzeb terhadap orang-orang
Hindu dan Shikh bukanlah sikap
diskriminatif seperti yang dituduhkan
sebagian sejarawan. Puluhan orang-
orang Hindu ia angkat jadi pegawainya
di istana, kantor, dan penasihatnya
bahkan Aurangzeb adalah raja yang
paling toleran dalam perjalanan
kerajaan Mughal. Terbukti dengan
orang-orang Hindu dan Shikh ambil
bagian dalam jajaran pemerintahan dan
militernya, tentu saja ini menunjukkan
bahwa Aurangzeb bukanlah seorang
yang kaku dalam keagamaan dan serta
merta menolak kontribusi non-muslim.
Isu negatif lainnya yang ditudingkan
kepada Aurangzeb adalah, masa
pemerintahannya diwarnai dengan
penghancuran kuil-kuil Hindu dan
Shikh serta menolak adanya
pembangunan rumah ibadah yang baru.
Hal ini seolah-olah menjadi fakta sejarah
yang tak terbantahkan.
Perlu diketahui, penjagaan dan
pelestarian candi dan kuil oleh umat
Islam –dengan standar legal dalam
hukum Islam- telah berlangsung sekian
lama. Pasukan Islam pertama kali datang
ke India pada tahun 711 M di bawah
pimipinan Muhammad bin Qasim yang
telah memberikan jaminan beragama
dan keamanan pada kuil-kuil Hindu dan
Budha. Aturan yang sama pun
diberlakukan selama ratusan tahun
sebelum kerajaan Mughal berkuasa.
Aurangzeb tidak mengabaikan hukum-
hukum Islam terhadap kelompok
minoritas atau kelompok mayoritas
yang tidak memiliki kekuasaan. Ia juga
mengetahui bahwa syariat Islam
melarang penodaan-penodaan terhadap
tempat ibadah. Ia mengatakan,
“Menurut keyakinan dan syariat Islam,
kuil-kuil yang merupakan peninggalan
zaman sebelumnya tidak selayaknya
dihancurkan.”
Jika Aurangzeb berkeyakinan bahwa
penghancuran kuil-kuil atau tempat
peribadatan adalah bertentangan
dengan syariat Islam, lalu bagaimana isu
bahwa ia melakukan pengrusakan bisa
muncul? Jawabannya adalah hal
tersebut merupakan kebohongan yang
dibuat-buat oleh lingkungan politik kuil.
Perlu diketahui, kuil-kuil Hindu dan
Shikh bukan hanya tempat untuk
beribadah semata, akan tetapi kuil juga
memiliki pengaruh politik yang
siknifikan. Kuil berfungsi sebagai pusat
perpolitikan dan bagian dari negara,
kepala kuil juga bekerja kepada
pemerintah. Saat raja-raja Mughal atau
raja Hindu di luar daerah Mughal ingin
mendekati rakyat, maka mereka terlebih
dahulu mendekati tokoh-tokoh agama
di kuil untuk mendapatkan simpatik
dari rakyat di wilayah tersebut. Dengan
demikian, kuil pada saat itu lebih dari
sekedar bangunan yang bersifat religius,
akan tetapi ia juga merupakan sebuah
potensi untuk menggapai pengaruh
politik.
Setelah mengetahui fungsi kuil yang
signifikan, barulah kita membahas dan
memahami mengapa Aurangzeb sampai
menghancurkan kuil-kuil tertentu. Tidak
ada catatan minor dalam sejarah yang
mengisahkan bahwa Aurangzeb
menghancurkan kuil di India secara
serampangan. Kuil-kuil yang ia
hancurkan benar-benar telah
diputuskan dengan kebijakan yang
matang dan juga hanya sebagian kecil
dari total kuil-kuil Hindu yang ada di
India. Keputusan penghancuran kuil itu
tidak dilandasi oleh sentiment
keagamaan, akan tetapi lebih kepada
faktor politik yang dapat
membahayakan stabilitas kerajaan dan
masyarakat Mughal.
Kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh
agama mengadakan pemberontakan di
masa Aurangzeb juga dilatarbelakangi
kekecewaan mereka terhadap
kepemimpinan Shah Jahan –ayah
Aurangzeb- yang mengutamakan
kemewahan dan menyebabkan himpitan
perekonomian. Ketika pemberontakan
pecah di salah satu wilayah Mughal,
maka kuil-kuil setempat merupakan
corong utama yang memprovokasi
masyarakat untuk mengadakan
pemberontakan. Oleh karena itu, selama
pemimpin pemberontakan ada dan kuil-
kuil pendukung mereka tetap eksis,
maka stabilitas keamanan di wilayah
Mughal akan sulit diwujudkan.
Oleh karena itu ditegakkan aturan,
perang terhadap para pemberontak
berkonsekuensi menghancurkan tempat
pemberontakan itu dirancang, yaitu
kuil. Contohnya adalah pemberontakan
yang terjadi pada tahun 1669 M, di
Banaras yang dipimpin oleh rival politik
Mughal, Shivaji. Ia menggunakan kuil
setempat untuk mendukung aksinya.
Setelah memberantas kelompok Shivaji,
Aurangzeb menghancurkan kuil di
Banaras yang digunakan sebagai tempat
penyusunan strategi untuk
memberontak kepada pemerintah.
Peristiwa serupa juga terjadi pada tahun
1670 M di Mathura, pemberontak di
daerah tersebut membunuh tokoh-
tokoh agama Islam. Metode
pemberantasan yang sama diterapkan
Aurangzeb, yakni menghancurkan kuil
yang menyeponsori pemberontakan
tersebut.
Dengan demikian, kebijakan
penghancuran kuil-kuil Hindu ini adalah
sebuah hukuman bagi orang-orang
Hindu yang telah berhianat kepada
negara, bukan sebagai bentuk intoleran
yang dilakukan oleh Aurangzeb.
Inilah sosok Raja Aurangzeb, seorang
raja yang berusaha meniti jalan
kebenaran, mempelajari Islam yang
murni dan menerapkannya secara
pribadi dan untuk masyarakatnya.
Semoga Allah merahmati Raja
Aurangzeb.
Sumber: http://lostislamichistory.com/
aurangzeb-and-islamic-rule-in-india/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar