Kamis, 13 Juni 2013

PELAKSANAAN PROSES BELAJAR MENGAJAR

Pengertian Pelaksanaan Proses Belajar
Mengajar
Proses pembelajaran merupakan suatu
kegiatan intraksi antara guru dan murid
dimana akan diakhiri dengan proses
evaluasi hasil belajar ( dimyati dan
mudjiono, 2006 : 3 ). Proses pembelajaran
juga diartikan sebagai suatu proses
terjadinya intraksi antara pelajar, pengajar
dalam upaya mencapai tujuan
pembelajaran, yang berlangsung dalam
suatu lokasi tertentu dalam jangka satuan
waktu tertentu pula ( hamalik, 2006 : 162 ).
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut
di atas maka dapat disimpulkan bahwa
proses pembelajaran sebagai suatu proses
intraksi antara guru dan murid dimana akan
dikhiri dengan proses evaluasi hasil belajar
dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran
yang berlangsung dalam suatu lokasi dan
jangka waktu tertentu.
Komponen-Komponen Proses Belajar
Mengajar
Menurut Adrian ( 2000 : 25 ) dalam
artikelnya yang berjudul “metode mengajar
berdasarkan tipologi belajar siswa”,
menjelaskan kegiatan belajar mengajar
melibatkan beberapa komponen yaitu guru
(pendidik), peserta didik, tujuan
pembelajaran, isi pembelajaran, metode
mengajar, media dan evaluasi
pembelajaran.
1. Guru ( Pendidik )
Sebagai dijelaskan oleh H.A.R Tilaar yang
dikutip oleh Suyanto ( 2001 : 31 ),
memberikan empat ciri utama agar seorang
guru terkelompok dalam guru yang
professional, masing-masing itu adalah:
Memiliki kepribadian yang matang
dan berkembang ( mature and
developing personality ),
Mempunyai keterampilan
membangkitkan minat peserta didik,
Memiliki penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang kuat
dan
Sikap profesionalnya berkembang
secara bersinambungan.
Sedangkan menurut wardiman djojonegoro
yang dikutip oleh suyanto ( 2001 : 33 ).
Guru yang bermutu memiliki paling tidak
empat kreteria utama, yaitu :
Kemampuan profesional, meliputi
kemampuan intelegensi, sikap dan
prestasi kerja;
Upaya profesional adalah upaya
seorang guru untuk
mentranspormasikan kemampuan
professional yang dimilikinya kedalam
tindakan mendidik dan mengjar
secara nyata,
Waktu yang dicurahkan untuk
kegiatan professional, menunjukan
intensitas waktu dari seorang guru
yang dikonsentarsikan untuk tugas-
tugas profesinya; dan 4) kesesuaian
antara keahlian dan pekerjaan, disini
gur u dituntut untuk dapat
membelajarkan siswa secara tuntas,
benar dan berhasil.
Terkait dengan hal tersebut, maka fungsi
dan tugas guru dalam situasi pendidikan
dan pengajaran terjalin intraksi antara dan
guru. Intraksi ini sesungguhnya merupakan
intraksi antara dua kepribadian yaitu
kepribadian guru sebagai seorang dewasa
dan sedangkan berkembang mencari bentuk
kedewasaan.
Sehubungan dengan itu sukmadinata
( 2004 : 252 ) menjelaskan fungsi / tugas
seorang guru dalam proses pembelajaran
sebagai berikut :
1. Guru Sebagai Pendidik Dan Pengajar
Tugas utama sebagai pendidik adalah
membantu mendewasakan anak. Dewasa
secara psikologis, sosial, dan moral.
Dewasa secara psikologis berarti individu
telah bisa berdiri sendiri, tidak bergantung
pada orang lain serta sudah mampu
bertanggung jawab atas segala perbuatan
dan mampu bersikap obyektif. Dewasa
secara sosial berarti telah mampu menjalin
hubungan sosial dan kerja sama dengan
orang dewasa lainnya. Dewasa secara moral
yaitu telah memiliki seperangkat nilai yang
ia akui kebenarannya dan mampu berprilaku
sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi
pegangannya.
Tugas utama guru sebagai pengajar adalah
membantu perkembangan intelektual,
afektif dan psikomotorik, melalui
penyampaian pengetahuan, pemecahan
masalah, latihan afektif dan keterampilan.
2. Guru Sebagai Pembimbing
Selain sebagai pendidik dan pengajar guru
juga sebagai pembimbing. Perkembangan
anak tidak selalu mulus dan lancar,
adakalanya lambat dan mungkin juga
berhenti sama sekali. Dalam kondisi dan
situasi seperti ini mereka perlu
mendapatkan bantuan dan bimbingan.
Sebagai upaya membantu anak mengatasi
kesulitan atau hambatan yang dihadapi
dalam perkembangannya.
Sebagai pembimbing, guru perlu memiliki
pemahaman yang seksama tentang para
siswanya, baik itu tentang segala potensi
dan kelemahannya, masalah dan kesulitan-
kesulitannya. Serta segala latar
belakangnya agar tercapai kondisi seperti
itu, guru perlu banyak mendekati siswa,
membina hubungan yang lebih dekat dan
akrap, melakukan pendekatan serta
mengadakan dialog-dialog secara langsung.
Selain fungsi seorang guru/ pendidik dalam
proses pembelajaran juga seorang guru
dituntu memiliki sifat dan sikap yang harus
dimiliki oleh seorang guru adlah sebagai
berikut :
Fleksibel, seorang guru adalah
seorang yang telah mempunyai
pegangan hidup, telah punya prinsip,
pendirian dan keyakinan sendiri, baik
dalam nilai-nilai maupun dalam ilmu
pengetahuan. Guru juga harus bisa
bertindak bijaksana, terhadap orang
yang tepat dalam situasi yang tepat.
Bersikap terbuka, seorang guru
hendaknya memiliki sifat terbuka baik
untuk menerima kedatangan siswa,
untuk diminta bantuan, juga untuk
mengoreksi diri.
Berdiri sendiri, seorang guru adlah
seorang yang telah dewasa, ia telah
sangup berdiri sendiri baik secara
intelektual, sosial maupun emosional.
Berdiri sendiri secara intelektual,
berarti ia memiliki pengetahuan yang
cukup untuk mengajar juga telah
memberikan pertimbangan-
pertimbangan rasional dan
mengambil suatu putusan atau
pemecahan masalah.
Peka, seorang guru harus peka atau
sensitif terhadap penampilan para
siswanya.
Tekun, pekerjaan seorang guru
membutuhkan ketekunan, baik
didalam memrsiapkam, melaksankan,
menilai maupun membina siswa
sebagai generasi penerus bagi
kehidupan yang akan datang,
Melihat kedepan, tugas guru adalah
membina siswa sebagai generasi
penerus bagi kehidupan yang akan
dating.
Menerima diri, seorang guru selain
bersikap realistis, ia juga harus
mampu menerima keadaan dan
kondisi dirinya ( sukmandinata, 2004 :
256-258 ).
Dalam undang-undang no 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional,
seorang guru tidak hanya dituntut pengajar
yang bertugas menyampaikan materi
pelajaran tertentu, tetapi juga harus
berperan sebagai pendidik. Dimyati dan
mudjiono (2006 : 41 ) mengatakan tugas
seorang guru adalah mengajar. Dalam
kegiatan mengajar ini tentu saja tidak dapat
dilakukan sembarangan, tetapi harus harus
mengunakan teori-teori dan prinsip-prinsip
belajar, prisnsip-prinsip belajar sebagai
berikut :
Perhatian dan motivasi, perhatian dan
motivasi mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kegiatan
belajar.
Keaktifan, anak memupunyai
dorongan untuk berbuat sesuatu
Ketertiban langsung / pengalaman,
belajar haruslah dilakukan sendiri
oleh siswa.
Pengulangan, melatih daya-daya jiwa
dan membentuk respon yang benar
dan bentuk kebiasaan-kebiasaan
Tantangan, dalam belajar siswa tentu
memiliki hambatan yaitu mepelajari
bahan belajar, maka timbulah motif
yang mengatasi hambatan itu dengan
belajar.
2. Peserta Didik
Dimyati dan Mudjiono ( 2006 : 22 ) dalam
bukunya belajar dan pembelajaran,
mendefenisikan peserta didik atau siswa
adalah subyek yang terlibat dalam kegiatan
belajar mengajar disekolah. Sedangkan
menurut Aminuddin Rasyad ( 2000 :105 ),
peserta didik (siswa) adalah seseorang atau
sekelompok orang yang bertindak sebagai
pelaku, pencari, penerima, dan penyimpan
isi pelajaran yang dibutuhkannya untuk
mencapai tujuan.
3. Tujuan Pembelajaran
Pada hakekatnya tujuan pembelajaran
adalah perubahan prilaku dan tingkah laku
yang positif dari peserta didik setelah
mengikuti kegiatan belajar mengajar,
seperti perubahan secara psikologis akan
tampil dalam tingkah laku ( over behavior )
yang dapat diamati melalui alat indra oleh
orang lain baik tutur kata, motorik, dan
gaya hidup.
4. Gaya Hidup
Untuk menjamin efektivitas pengembangan
kurikulum dan program pembelajaran, maka
kepala sekolah beserta guru-guru lainya
untuk menjabarkan isi kurikulum secara
lebih rinci dan oprasional kedalam program
tahunan, semesteran, dan bulanan. Adapun
program mingguan atau program satuan
pelajaran wajib di kembangkan guru
sebelum melakukan kegiatan belajar
mengajar. Berikut prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan :
Tujuan yang dikehendaki harus jelas,
oprasional mudah terlihat, ketepatan
program-program yang dikembangkan
untuk mencapai tujuan.
Program ini harus sederhana atau
fleksibel.
Program-program yang disusun dan
dikembangkan harus sesuai dengan
tujuan yang telah diterapkan
Program yang dikembangkan harus
menyeluruh dan jelas pencapaiannya
Harus ada koordinasi antara kompone
pelaksana program disekolah
( Mulyasa, 2006 : 41 ).
5. Metode Mengajar
Metodologi mengajar dalam dunia
pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik,
karena keberhasilan Proses Belajar
Mengajar (PBM) bergantung pada cara
mengajar gurunya. Jika cara mengajar
gurunya enak menurut siswa, maka siswa
akan tekun, rajin, antusias menerima
pelajaran yang diberikan, sehingga
diharapkan akan terjadi peribahan tingkah
laku pada siswa baik tutur katanya, sopan
santunnya, motorik dan gaya hidup.
6. Media
Pengajaran yang baik perlu ditunjang oleh
pengunaan media pengajaran. Berkenaan
dengan media pengajaran ada yang
mengartikan secara sempit, terbatas pada
alat bantu pengajaran atau alat peraga.
Tapi ada pula yang mengartikan secara luas
termasuk juga sumber-sumber belajar selain
buku, jurnal, adalah perpustakaan,
laboratorium, kebun sekolah, dan
sebagainya.
7. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dalam rangka
pengendalian mutu pendidikan secara
nasional sampai bentuk akuntabilitas
penyelengaraan pendidikan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan ( UU Sisdiknas
2003, pasal 57 ). Sedangkan evaluasi hasil
belajar peserta didik untuk membantu
aktivitas, kemajuan dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara
berkesinambungan ( pasal 58 ).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Proses Belajar Mengajar
Pelaksanaan proses belajar mengajar
selayaknya berpegang pada apa yang
tergantung dalam perencanaan
pembelajaran. Selanjutnya diterbitkan oleh
Depdiknas ( 2004 : 6 ) tentang factor-faktor
yang mempengaruhi PBM tersebut antara
lain :
Factor guru, pada faktor ini yang perlu
mendapat perhatian adalah
keterampilan mengajar, metode yang
tepat dalam mengelola tahapan
pembelajaran. Didalam intraksi
belajar mengajar guru harus memiliki
keterampilan mengajar, mengelola
tahapan pembelajaran,
memanfaatkan metode, mengunakan
media dan mengalokasikan waktu
yang untuk mengkomunikasikan
tindakan mengajarnya demi
tercapainya tujuan pembelajaran di
sekolah.
Faktor siswa, siswa adalah subyek
yang belajar atau yang disebut
pembelajar. Pada faktor siswa yang
harus diperhatikan adalah
karakteristik umum maupun khusus,
karateristik umum dari siswa adalah
usia yang dikategorikan kedalam
Usia anak-anak yaitu usia pra
sekolah dasar ( 4- 11 tahun);
Usia sekolah lanjutan pertama
( 12-14 tahun ) atau usia
pubertas dari setiap siswa;
Usia sekolah lanjutan atas
( 15-17 tahun ) atau usia
mencari identitas diri. Adapun
karakteristik siswa secara
khusus dapat dilihat dapat
dilihat dari berbagai sudut
antara lain dari sudut lain, dari
sudut gaya belajar yang
mencakup belajar dengan
mengunakan visual,, dengan
cara mendengar (auditorial)
dan dengan cara bergerak atau
kinestetik ( Suprayekti, 2004 :
11 ),
Faktor kurikulum, kurikulum
merupakan pedoman bagi guru dan
siswa dalam mengkoordinasikan
tujuan dan isi pelajaran. Pada faktor
ini yang menjadi titik perhatian
adalah bagai mana merealialisasikan
komponen metode dengan evaluasi,
Faktor lingkungan, lingkungan
didalam intraksi belajar mengajar
merupakan konteks terjadinya
pengalaman belajar.
Hakekat Proses Belajar Mengajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan ,
kegiatan belajar mengajar merupakan
kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti
bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian
pendidikan banyak bergantung kepada
bagaimana proses belajar mengajar
dirancang dan dijalankan secara
professional.
Setiap kegiatan proses belajar mengajar
selalu melibatkan dua pelaku aktif, yaitu
guru dan siswa. Guru sebagai pengajar
merupakan pencipta kondisi belajar siswa
yang didesain secara sengaja, sistematis
dan bersikenbambungan. Sedangkan anak
sebagai subyek pembelajaran merupakan
pihak yang menikmati kondisi belajar yang
diciptakan guru. Perpaduan dari kedua
unsur manusiawi ini melahirkan intraksi
edukatif dengan memanfaatkan bahan ajar
sebagai mediumnya. Pada kegiatan belajar,
keduanya (guru-murid) saling
mempengaruhi dan member masukan.
Karna itulah kegiatan belajar mengajar
harus merupakan aktivitas yang hidup, sarat
nilai dan senantiasa memiliki tujuan.
Rumusan belajar mengajar tradisional selalu
menempatkan anak didik sebagai obyek
pembelajaran dan guru sebagai subyeknya.
Rumusan seperti ini membawa konsekuensi
terhadap kurang bermaknanya kedudukan
anak dalam proses pembelajaran,
sedangkan guru menjadi faktor yang
dominan dalam keseluruhan proses belajar
mengajar. Pelaksanaan Proses Belajar
Mengajar
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya dibawah
ini Ya !!
1 Response to "Pelaksanaan Proses
Belajar Mengajar, Pengertian,
komponen, Kakekat, dan Faktor"
thresia wahyuni December 24, 2012
at 3:22 PM
inovasi pendidikan perlu sosialisasi lebih
luas, untuk meningkatkan kualitas
pendidikan

Sumber: http://www.sarjanaku.com/2012/09/pelaksanaan-proses-belajar-mengajar.html?m=1

Senin, 10 Juni 2013

Membantah Tuduhan Rasulullah “Fedofilia” Aisyah Ra Menikah di Usia 19 Tahun

Kita selama ini mendapatkan informasi
bahwa Rasulullah SAW telah melamar
Aisyah RA ketika berumur 6 tahun dan
berumah tangga ketika berusia 9 tahun.
Selama ini pula, kaum orientalis dan
kafir pembenci Islam kerap mengolok
Nabi Muhammad seorang pedofilia
karena mengawini Aisyah, bocah
perempuan berusia sembilan tahun.
Namun, ejekan itu kini terbantahkan.
Menjawab pertanyaan benar atau tidak
masalah ini, melalui studi kritis terhadap
hadits, Maulana Habibur Rahman
Siddiqui Al-Kandahlawi menemukan
informasi baru. Dalam bukunya Umur
Aisyah, menegaskan Rasulullah SAW
berumah tangga dengan Aisyah Ra saat
Aisyah Ra berusia 19 tahun.
Jadi, bagaimana cerita runutnya?!
Maulana Habibur Rahman Siddiqui Al-
Kandahlawi adalah seorang ahli hadits
dari India. Ia lahir tahun 1924 M,
putera ulama hadits terkenal Mufti
Isyfaq Rahman. Ayahnya ini pernah jadi
mufti besar Bhopal India.
Adapun yang menjadi dasar kesimpulan
tersebut adalah riwayat yang
menunjukkan beda usia Aisyah r.a
dengan kakaknya Asma, sekitar 10
tahun. Riwayat ini ada di kitab Siyar
A’lamal Nubala karangan Al Zahabi.
Sedangkan Asma meninggal di usia 100
tahun pada tahun 73 H (diriwayatkan
Ibnu Kathir dan Ibnu Hajar). Artinya,
Asma lahir tahun 27 Sebelum Hijrah dan
Aisyah lahir tahun 17 Sebelum Hijrah.
Sementara itu, para ahli sejarah sepakat
bahwa pernikahan Rasulullah SAW
dengan Aisyah ra, terjadi pada sekitar
tahun 2 H. Berarti Aisyah ra berumah
tangga dengan Rasulullah SAW pada usia
19 tahun.
Mudah-mudahan dengan berita ini,
tidak ada lagi berita-berita miring yang
dialamatkan kepada Rasulullah SAW atas
pernikahannya dengan Siti Aisyah. Kalau
umur 19 tahun di masa itu, sepertinya
sudah layak dianggap dewasa. Secara
emosional dan psikologis, umur 19
tahun juga sudah bukan umur anak-
anak lagi.
Catatan : Sebagai tambahan dalil…
1. Siti Aisyah Ra. berkata :
“Saya seorang gadis muda (jariyah
dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-
Qamar diturunkan (Sahih Bukhari,
kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu
Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa
amarr)…
Untuk dipahami, gadis muda (jariah),
adalah mereka yang telah berusia antara
6-13 tahun.
Jika Surat al Qamar, diturunkan pada
tahun ke 8 (delapan) sebelum hijriyah
(The Bounteous Koran, M.M. Khatib,
1985), berarti usia Aisyah ra. saat
menikah antara 16-23 tahun…
Syekh Muhammad Sayyid At-Thanthawy
berpendapat, Surat al Qamar diturunkan
pada tahun ke 5 (lima) sebelum hijriah.
Jikapun pendapat ini, kita jadikan
patokan (dasar), maka akan diperoleh
keterangan usia Aisyah ra. saat beliau
menikah, antara 13-20 tahun.
2. Berdasarkan Sirah An-Nabawiyah
(Ibnu Hisyam, 1/245-262.), dakwah
secara siriyyah, yang dilakukan
Rasulullah sekitar kurang lebih 3 tahun
dan sampai orang Islam berjumlah 40
orang. Sejarah mencatat, Aisyah Ra.
adalah orang ke-19 yang menerima
Islam, ini berarti beliau masuk Islam
pada masa dakwah disampaikan secara
siriyyah (sembunyi-sembunyi).
Jika Aisyah Ra. pada tahun 2H saat ia
menikah, baru berumur 9 tahun. Maka
di masa dakwah secara siriyyah,
berdasarkan perhitungan tahun,
kemungkinan beliau belum lahir.
Bagaimana anak yang belum lahir, bisa
bersyahadat ?
3. Mari kita pahami hadits berikut :
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Bukair telah
menceritakan kepada kami Al Laits
dari ‘Uqail berkata, Ibnu Syihab
maka dia mengabarkan keada saya
‘Urwah bin Az Zubair bahwa
‘Aisyah radliallahu ‘anha isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata; “Aku belum lagi baligh
ketika bapakku sudah memeluk
Islam”.
Dan berkata, Abu Shalih telah
menceritakan kepada saya
‘Abdullah dari Yunus dari Az
Zuhriy berkata, telah
mengabarkan kepada saya ‘Urwah
bin Az Zubair bahwa ‘Aisyah
radliallahu ‘anha berkata; “ Aku
belum lagi baligh ketika bapakku
sudah memeluk Islam dan tidak
berlalu satu haripun melainkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam datang menemui kami di
sepanjang hari baik pagi ataupun
petang. Ketika Kaum Muslimin
mendapat ujian, Abu Bakar keluar
berhijrah menuju Habasyah
(Ethiopia) hingga ketika sampai di
Barkal Ghomad dia didatangi oleh
Ibnu Ad-Daghinah seorang kepala
suku seraya berkata; “Kamu
hendak kemana, wahai Abu
Bakar?” Maka Abu Bakar
menjawab: “Kaumku telah
mengusirku maka aku ingin
keliling dunia agar aku bisa
beribadah kepada Tuhanku”.
Ibnu Ad-Daghinah berkata:
“Seharusnya orang seperti anda
tidak patut keluar dan tidap patut
pula diusir karena anda termasuk
orang yang bekerja untuk mereka
yang tidak berpunya,
menyambung silaturahim,
menanggung orang-orang yang
lemah, menjamu tamu dan selalu
menolong di jalan kebenaran.
Maka aku akan menjadi pelindung
anda untuk itu kembalilah dan
sembahlah Tuhanmu di negeri
kelahiranmu.
Maka Ibnu Ad-Daghinah bersiap-
siap dan kembali bersama Abu
Bakar lalu berjalan di hadapan
Kafir Quraisy seraya berkata,
kepada mereka: “Sesungguhnya
orang sepeti Abu Bakar tidak
patut keluar dan tidak patut pula
diusir. Apakah kalian mengusir
orang yang suka bekerja untuk
mereka yang tidak berpunya,
menyambung silaturahim,
menanggung orang-orang yang
lemah, menjamu tamu dan selalu
menolong di jalan kebenaran?”
Akhirnya orang-orang Quraisy
menerima perlindungan Ibnu Ad-
Daghinah dan mereka
memberikan keamanan kepada
Abu Bakar lalu berkata, kepada
Ibnu Ad-Daghinah:
“Perintahkanlah Abu Bakar agar
beribadah menyembah Tuhannya
di rumahnya saja dan shalat serta
membaca Al Qur’an sesukanya
dan dia jangan mengganggu kami
dengan kegiatannya itu dan
jangan mengeraskannya karena
kami telah khawatir akan
menimbulkan fitnah terhadap
anak-anak dan isteri-isteri kami”.
Maka Ibnu Ad-Daghinah
menyampaikan hal ini kepada Abu
Bakar. Maka Abu Bakar mulai
beribadah di rumahnya dan tidak
mengeraskan shalat bacaan Al
Qur’an diluar rumahnya.
Kemudian Abu Bakar membangun
tempat shalat di halaman
rumahnya sedikit melebar keluar
dimana dia shalat disana dan
membaca Al Qur’an. Lalu istrei-
isteri dan anak-anak Kaum
Musyrikin berkumpul disana
dengan penuh keheranan dan
menanti selesainya Abu Bakar
beribadah. Dan sebagaimana
diketahui Abu Bakar adalah
seorang yang suka menangis yang
tidak sanggup menahan air
matanya ketika membaca Al
Qur’an.
Maka kemudian kagetlah para
pembesar Quraisy dari kalangan
Musyrikin yang akhirnya mereka
memanggil Ibnu Ad-Daghinah ke
hadapan mereka dan berkata,
kepadanya: “Sesungguhnya kami
telah memberikan perlindungan
kepada Abu Bakr agar dia
mberibadah di rumahnya namun
dia melanggar hal tersebut dengan
membangun tempat shalat di
halaman rumahnya serta
mengeraskan shalat dan bacaan
padahal kami khawatir hal itu
akan dapat mempengaruhi isteri-
isteri dan anak-anak kami dan
ternyata benar-benar terjadi. Jika
dia suka untuk tetap beribadah di
rumahnya silakan namun jika dia
menolak dan tetap menampakkan
ibadahnya itu mintalah kepadanya
agar dia mengembalikan
perlindungan anda karena kami
tidak suka bila kamu melanggar
perjanjian dan kami tidak setuju
bersepakat dengan Abu Bakar”.
Berkata, ‘Aisyah radliallahu ‘anha:
Maka Ibnu Ad-Daghinah menemui
Abu Bakar dan berkata: “Kamu
telah mengetahui perjanjian yang
kamu buat, maka apakah kamu
tetap memeliharanya atau
mengembalikan perlindunganku
kepadaku karena aku tidak suka
bila orang-orang Arab mendengar
bahwa aku telah melanggar
perjanjian hanya karena
seseorang yang telah aku berjanji
kepadanya”. Maka Abu Bakar
berkata: “Aku kembalikan
jaminanmu kepadamu dan aku
ridho hanya dengan perlindungan
Allah dan RasulNya shallallahu
‘alaihi wasallam. Kejadian ini
adalah di Makkah.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Sungguh aku
telah ditampakkan negeri tempat
hijrah kalian dan aku melihat
negeri yang subur ditumbuhi
dengan pepohonan kurma
diantara dua bukit yang kokoh.
Maka berhijrahlah orang yang
berhijrah menuju Madinah ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyebutkan hal itu.
Dan kembali pula berdatangan ke
Madinah sebagian dari mereka
yang pernah hijrah ke Habasyah
sementara Abu Bakar telah
bersiap-siap pula untuk berhijrah.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata, kepadanya:
“Janganlah kamu tergesa-gesa
karena aku berharap aku akan
diizinkan (untuk berhijrah) “ . Abu
Bakar berkata: “Sungguh demi
bapakku tanggungannya, apakah
benar Tuan mengharapkan itu?”
Beliau bersabda: “Ya benar”. Maka
Abu Bakar berharap dalam dirinya
bahwa dia benar-benar dapat
mendampingi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
berhijrah. Maka dia memberi
makan dua hewan tunggangan
yang dimilikinya dengan dedaunan
Samur selama empat bulan.
sumber : Hadits Bukhari No.2134
Dilansir Bikyamasr.com, Sabtu
(8/12), Ulama Pakistan, Hakim Niyaz
Ahmad, dalam bukunya
terbarunya Kebenaran Usia Aisyah,
juga menegaskan hal yang sama bahwa
Aisyah telah berumur 19 tahun ketika
menikah dengan Rasulullah.
"Kebanyakan sumber, terutama Abu
Naim al-Isfahani, mengatakan Asma 27
tahun ketika pindah ke Madinah.
Artinya, Aisyah saat itu setidaknya
berusia 17 tahun," tulis Hakim Niyaz,
Sabtu (8/12).
Asma merupakan kakak dari Aisyah.
Fakta ini sekaligus menggugurkan hadis-
hadis yang menyebut Aisyah menikah
dengan Nabi Muhammad ketika berusia
9 tahun, seperti diriwayatkan Hisyam
Urwa.
Menurut Ulama Pakistan ini, penuturan
Hisyam tidak bisa lagi dipercaya karena
ketika itu dia sudah berusia 84 tahun.
Kebanyakan dari sumber hadis Hisyam
sudah meninggal sehingga sulit buat
membuktikan ucapannya itu.
Dari hasil penelusuran pelbagai
dokumen agama dan sejarah, Hakim
menyimpulkan Aisyah memang sudah
menginjak usia siap menikah. Dia
menjelaskan sebelum menikah dengan
nabi, Aisyah sudah bertunangan dengan
Jubair bin Mutam. Keluarga calon
mempelai lelaki itu kemudian tidak
terima setelah calon menantu mereka
masuk Islam (mualaf).
Sang ayah, Abu Bakar, lantas berunding
dengan keluarga Jubair. Dia ingin
memutus ikatan pertunangan antara
Aisyah Ra dan Jubair. Perundingan
berjalan baik, Aisyah dan Jubair putus
hubungan. Selepas itu, baru Nabi
Muhammad melamar Aisyah.
Cobalah perhatikan tulisan yang dicetak
tebal, pada hadits shahih di atas:
‘Aisyah radliallahu‘anha
berkata; “Aku belum
lagi baligh ketika
bapakku sudah
memeluk Islam…
Hal ini bermakna ketika Abu Bakar ra.
masuk Islam, Aisyah ra. sudah lahir.
Berdasarkan catatan sejarah, Abu Bakar
ra. masuk Islam pada tahun-1 Kenabian
(tahun ke-10 Sebelum Hijriah).
Dan jika pada saat itu Aisyah ra. baru
berusia 7-8 tahun, maka saat beliau
berumah tangga dengan Rasulullah,
Maka Aisyah ra. telah berusia 19-20
tahun.

Sumber: yasirmaster.blogspot.com

Minggu, 09 Juni 2013

Sejarah Kabupaten Hulu Sungai Selatan

1. Masa Penjajahan Belanda
Pada masa Penjajahan Belanda,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah
bagian dari “Afdeling Van Hoeloe
Soengai” yang berkedudukan di
Kandangan. Afdeling Van Hoeloe
Soengai terdiri dari (lima) onder
afdeling
Onder Afdeling
Tandjung
Onder Afdeling
Amoentai
Onder Afdeling Barabai
Onder Afdeling
Kandangan
Onder Afdeling Rantau
Afdeling Van Hoeloe Soengai merupakan
kesatuan wilayah yang sekarang disebut
Hulu Sungai atau Banua Anam
2. Masa Penjajahan Jepang
Pemerintah bala tentara Jepang tetap
mempertahankan pembagian wilayah di
hulu sungai seperti pada masa
penjajahan Belanda, hanya sebutannya
yang diubah kedalam bahasa Jepang.
Afdeling Van Hoeloe Soengai diganti
dengan Hoeloe Soengai Ken dan
Pejabatnya disebut Hoeloe Soengai Ken
Reken. Onder Afdeling diganti menjadi
Bunken Pejabatnya disebut Bunken Ken
Riken
3. Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17
Agustus 1945 Wilayah
Indonesia dibagi
menjadi 8 Provinsi,
sesuai Sidang Kabinet
Pertama tanggal 2
September 1945 salah
satu Provinsi adalah
Provinsi Borneo
ibukotanya
Banjarmasin, sebagai
Gubernurnya adalah Ir.
Pangeran Moehammad
Noor
Tahun 1946 dengan
Stb. Nomor 64
Pemerintah Hindia
Belanda (yang waktu itu
tidak mengakui
kemerdekaan
Indonesia) membagi
Borneo (Kalimantan)
menjadi 3 karesidenan,
yaitu Residentie Zuld
Borneo, Residentie Oost
Borneo dan Residentie
West Borneo. Afdeling
Van Hoeloe Soengai
adalah bagian dari
Residentie Zuld Borneo
Rakyat Kalimantan terus
berjuang
mempertahankan
kemerdekaan Indonesia,
puncaknya perjuangan
rakyat melahirkan
Proklamasi Gubernur
Tentara ALRI Divisi IV
Pertahanan Kalimantan
17 Mei 1949 di Desa
Ni’ih yang
ditandatangani oleh
Bapak Gerilya
Kalimantan dan
Pahlawan Nasional kita
H. Hassan Basry, isi
Proklamasi tersebut
antara lain menyatakan
bahwa Kalimantan
Selatan merupakan
bagian yang tak
terpisahkan dari
Wilayah Republik
Indonesia
Pada 27 Desember
1949 terjadi pengakuan
Pemerintah Hindia
Belanda terhadap
Kedaulatan Bangsa dan
Negara Indonesia. Sejak
itu dibentuklah Negara
Republik Indonesia
Serikat (RIS). Dengan
berdirinya Negara RIS
maka bubarlah Dewan
Banjar yang dibentuk
Belanda, tapi Daerah
Banjar dan Van Hoeloe
soengai tetap berdiri
sendiri
Pada Bulan April 1950
DR Murdjani diangkat
sebagai Gubernur
Kalimantan. Kemuadian
karena UU 22 Tahun
1948 tentang
Pemerintahan Daerah
belum dapat
sepenuhnya
dilaksanakan, maka
untuk sementara
melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri
tanggal 29 Juni 1950
Nomor C 17 / 15
wilayah Kalimantan
dibagi menjadi 6
Kabupaten Administratif
dan 3 Swapraja. Salah
satu diantaranya
Afdeling Van Hoeloe
Soengai dibentuk
menjadi Kabupaten
Hulu Sungai dangan
ibukota Kandangan
Pembagian wilayah
administratif tersebut
tidak memuaskan rakyat
karena yang diinginkan
adalah terbentuknya
Kabupaten Otonomi
sesuai UU 22 Tahun
1948. Untuk itu sebagai
langkah darurat
Gubernur Kalimantan
mengeluarkan
Keputusan tanggal 14
Agustus 1950 Nomor
186/OPB/92/14 yang
menetapkan peraturan
sementara tentang
pembagian daerah-
daerah otonom
Kabupaten dan daerah-
daerah otonom
setingkat Kabupaten.
Kabupaten Hulu Sungai
Selatan yang semula
bersifat administratif
menjadi Kabupaten
Otonom. Keadaan ini
terus berlangsung
meskipun tanggal 17
Agustus 1950 terjadi
perubahan
ketatanegaraan dari
Negara RIS menjadi
Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pada tanggal 2
Desember 1950
Gubernur Kalimantan
melantik Syarkawi
sebagai pejabat pertama
Bupati Hulu Sungai.
Selanjutnya dibentuk
pula Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
Sementara (DPRDS)
yang berjumlah 36
orang, diketuai Djantera
dan wakilnya Basuni
Taufik. Dari 36 anggota
DPRDS tersebut dipilih
secara berimbang 5
orang menjadi anggota
Dewan Pemerintah
Daerah Sementara
(DPDS), yaitu H.
Murham, H. Darham
Hidayat, Abdul
Hamidhan, Basjuria dan
Hasbullah yang
ditetapkan dalam sidang
DPRDS tanggal 9
Desember 1950
Pada tanggal 16
Nopember 1951
dengan Keputusan
Menteri Dalam Negeri
Nomor Pemb. 20 / 1 /
47 Kabupaten Hulu
Sungai dimekarkan
menjadi 2, yaitu :
Kabupaten Kandangan
dengan ibukotanya
Kandangan meliputi
Kewedanaan Tapin,
Amandit, Nagara dan
Barabai, sedang
Kabupaten Amuntai
dengan ibukotanya
Amuntai, meliputi
Kawedanaan Alabio,
Amuntai, Balangan dan
Tabalong, jabatan
Kepala Daerah
Kabupaten Kandangan
tetap Syarkawi
Dengan UU Darurat No.
3 Tahun 1953
(Lembaran Negara
Tahun 1953 No. 9)
Wilayah Provinsi
Kalimantan dibentuk 13
Kabupaten Otonom, 2
Kota Besar dan 3
Daerah Istimewa Tingkat
II. Berdasarkan Undang
– Undang itu Kabupaten
Kandangan dibentuk
(diubah) namanya jadi
Kabupaten Hulu Sungai
Selatan dengan
ibukotanya Kandangan
Dengan berlakunya UU
No. 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara
Tahun 1957 No. 6),
Kabupaten Hulu Sungai
Selatan harusnya
menjadi Daerah
Swatantra Tingkat II
(Daswati II) Hulu Sungai
Selatan, tapi karena
dalam masa peralihan
dimana waktu itu
dikenal adanya
Pemerintah Peralihan,
maka Kabupaten Hulu
Sungai Selatan diberi
nama Dewan
Pemerintah Daerah
Peralihan Tingkat II
Hulu Sungai Selatan
Penetapan Presiden No.
6 Tahun 1959 tentang
Pemerintah Daerah dan
Penetapan Presiden No.
5 Tahun 1960 tentang
DPRD GR dan
Sekretariat Daerah,
menggabungkan tugas
pemerintah umum di
daerah dengan tugas
pemerintah daerah
ditangan seorang Kepala
Daerah. Istilah Daerah
Swatantra Tingkat II
Hulu Sungai Selatan
menjadi Daerah Tingkat
II Hulu Sungai Selatan

Sumber: http://yasirmaster.blogspot.com/2013/05/

Sabtu, 08 Juni 2013

Menyelami Dunia Anak, Bukan Menyeret Mereka ke Dunia orang Dewasa

“Ada seorang anak dari Kota Madinah
mengambil tangan Rasulullah saw. dan
beliau tidak menarik tangannya sampai
anak itu puas membawa tangan beliau
sekehendak hatinya” ( H.R. Ibnu Majah ).
Penekanan redaksi hadits pada kalimat
“beliau tidak menarik tangannya sampai
anak itu puas membawa tangan beliau
sekehendak hatinya” menurut penulis
merupakan pesan tersirat bagaimana Nabi
Muhammad tidak menafikkan
kecenderungan sifat anak-anak yang selalu
ingin bermain, meskipun beliau memiliki
kepentingan untuk mengajarkan adab atau
praktik ibadah lainnya.
Pada kisah lain, Nabi Muhammad menahan
sujud lebih lama karena kedua cucu
kesayangannya, Hasan dan Husain,
menaikki punggungnya pada saat beliau
sedang shalat. Meskipun nilai ritual shalat
sangat sakral, Nabi tidak ingin merusak
keceriaan kedua cucunya.
Setiap pendidik yang menjadikan Rasulullah
Muhammad saw. sebagai panutan dan
profil komprehensif seorang mahaguru
pendidikan, telah cukup terang-benderang
untuk menyadari bagaimana dunia
pendidikan di Indonesia tidak lagi
“menahan tangannya sampai anak-anak
puas membawanya sekehendak hati”.
Anak-anak Indonesia, utamanya di kota-
kota besar, menjadi kerumunan bocah
yang begitu sibuk luar biasa dan sangat
tergegas menjalani hari-hari mereka yang
penuh beban. Ransel besar “persiapan
masa depan” anak-anak ini penuh sesak
oleh berbagai agenda yang membuat
punggung mereka kian membungkuk.
Privat calistung, tumpukan pekerjaan
rumah, les menyanyi, les karate, jadwal
bermain biola, privat bahasa Inggris, dan
aktivitas belajar lainnya menjadi daftar
panjang kegiatan yang lebih sering terasa
sangat mengungkung dan menyiksa.
Tidak ada yang salah jika anak-anak usia TK
dapat membaca, menulis, dan berhitung,
asalkan caranya sesuai dan patut bagi
anak. Sesuai dengan ritmik dan tugas
perkembangannya. Sayangnya, masih
banyak guru TK kita yang “kurang rasa dan
kurang periksa” dalam melatih kepekaan
sebagai seorang guru. Mengajar anak-anak
membaca, menulis, dan berhitung tanpa
mengindahkan tugas-tugas perkembangan
yang tengah dijalani anak. Mengabaikan
pedagogi, melupakan perkembangan dan
keunikan anak sebagai anak. Anak-anak
dididik melalui konsep yang tidak
menumbuhkan pengalaman yang telah
dikonstruk dan dimiliki masing-masing anak
semenjak ia lahir. Pesan-pesan budaya,
sosio, historis, dinihilkan (D.U Faizah,
2009: 2).
Permasalahan menjadi lebih serius ketika
pengajaran yang tidak sesuai
perkembangan tersebut mengakibatkan
dampak yang berkelanjutan. Anak tidak
hanya menghadapi kesulitan ketika beban
pengajaran mereka terima namun juga
secara massif hal tersebut berakibat pada
kecakapan kognitif mereka.
Apabila diibaratkan, otak anak adalah
sebuah struktur bangunan yang masih
dalam proses konstruksi. Jika saat proses
konstruksi berlangsung bangunan atau
rumah tersebut mulai difungsikan, misalnya
diisi dengan barang-barang atau furniture,
bahkan sebagian ruangnya sudah dihuni,
hampir dapat dipastikan proses
pembangunannya akan terhambat.
Beberapa kasus menunjukkan, pada
penjejalan materi akademik usia anak yang
masih dini justru berakibat pada
penurunan kemampuan intelektualitas
secara bermakna di bangku perguruan
tinggi. Beberapa di antaranya berakhir
tragis karena harus mengalami drop out
(Tauhid Nur Azhar , 2011: 122).
Keprihatinan seputar hal ini sebenarnya
telah muncul di berbagai belahan dunia
sejak seabad lalu. Leo Tolstoy, sastrawan
klasik dunia asal Rusia membuat sebuah
pemberontakan intelektual dengan
mendirikan sebuah sekolah yang menjadi
tempat anak-anak benar-benar
menemukan dunianya pada awal tahun
1850-an.
Pengarang yang namanya menyejarah lewat
novel “Perang dan Damai” dan “Anna
Karenina” itu sangat prihatin dengan
perkembangan institusi sekolah yang
berubah menjadi lembaga yang memenjara
imajinasi bagi anak-anak.
Kecintaannya kepada dunia anak didorong
oleh pemahamannya bahwa kebebasan,
termasuk di dalamnya kebebasan
berimajinasi, dan berekspresi adalah hak
setiap manusia, termasuk anak-anak.
Institusi sekolah, sebagai lembaga
pendidikan dalam keadaan tertentu
seringkali menghilangkan kebebasan anak
dan membelenggu keluasan imajinasi
mereka. Ini yang ditentang Tolstoy. Inilah
yang kemudian mendorongnya
menciptakan sebuah sekolah di mana anak-
anak bisa bebas mengekspresikan masa
kanak-kanaknya sesuai dengan jiwa mereka
(A. Fahrurodji, 2004: 3).
Mengapa Al Qur’an (dan kitab agama lain)
ditaburi begitu banyak kisah masih menjadi
pembahasan. Seolah Kitabullah sedari
pertama turun telah menjawab kebutuhan
metodologi yang tepat dalam penyampaian
ajaran Langit,yakni melalui kisah.
Dunia anak adalah semesta bermain dan
berimajinasi. Jika kita ingin menyampaikan
pesan dan pembelajaran kepada anak,
maka kita semestinya memasuki semesta
mereka dan bukan menarik mereka ke
dunia kita; dunia orang dewasa yang
serbalinier dan (bergaya) masuk akal.
Maka, naskah anak yang baik, semestinya
berusaha mengisi kekosongan itu.
Kekosongan gaya penceritaan yang
memasuki dunia anak, dan bukan menarik
anak ke dunia orang dewasa. Kisah-kisah Al
Qur’an dengan berbagai keajaibannya,
adalah sebuah ruang yang sangat lega bagi
imajinasi anak-anak.
Di dunia yang hanya bisa diselami oleh
anak-anak, cerita anak membagi kisah
kepahlawanan, keharuan, keromantisan,
kesungguhan, dan aneka pembelajaran
hidup lainnya.

Sumber: Tasaro GK

Jumat, 07 Juni 2013

Nomor Induk Siswa Nasional NISN MTs Mathla'ul Anwar Alabio 2013

Berikut kami lampirkan Nomor Induk Siswa Nasional MTs Mathla'ul Anwar Alabio tahun lulus 2013
Download

Sejarah Makam Datu Muhammad Rais

Loknyiur merupakan salah satu anak
desa yang terletak di bagian utara Desa
Bamban Kecamatan Angkinang. Jaraknya
kurang lebih 10 kilometer dari kota
Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu
Sungai Selatan (HSS), Kalimantan
Selatan. Sementara dari jalan raya Trans
Kalimantan sekitar 2 kilometer. Dengan
karakteristik geografis tanah rawa dan
sungai. Sungai terkenal itu bernama
Sungai Martajiwa. Di bantaran sungai
Martajiwa terdapat sebuah makam tua
dengan sebuah nisan tanpa nama. Sejak
nenek moyang dulu tidak tahu pasti
makam siapa itu.
Dengan ketidaktahuan dan
ketidakpastian itu muncul berbagai
cerita tanpa dasar dan alasan yang kuat
untuk menjelaskan keberadaan makam
tersebut. Diantaranya yang pernah
mengemuka menyebutkan makam
tersebut hadirnya bersamaan dengan
datangnya banjir besar di sungai
Martajiwa. Hingga hadirlah makam
tersebut di bantaran sungai itu.
Dulunya di pinggir sungai Martajiwa
tumbuh sebatang beringin besar yang
rindang dengan akarnya melebar di
permukaan tanah. Terlihat sebuah nisan
yang terbuat dari kayu ulin tertancap di
sela-sela akar pohon beringin yang
mengisyaratkan bahwa itu sebuah
makam yang tidak tahu pasti siapa
penghuninya.
Cerita ini bertahun-tahun lamanya dan
hampir terlupakan ditelan masa hingga
pergantian zaman hingga sekarang ini.
Namun kadangkala ada muncul
keanehan atau peristiwa ganjil yang
mengisyaratkan bagi orang yang
tertentu dapat melihat benda asing di
sekitar makam berupa binatang atau
benda hidup lainnya. Seperti buaya
putih, ular putih, kucing putih, dsb.
Konon katanya sampai 41 jenis benda
hidup aneh yang berbeda dengan
kehidupan biasanya.
Penampakan makhluk aneh tersebut
biasanya diiringi dengan hujan lebat dan
angin kencang. Hingga mengakibatkan
banjirnya sungai Martajiwa. Yang aneh
sedalam dan sebanjir apapun juga
sungai Martajiwa mengalirkan airnya,
tetap tidak akan menenggelamkan nisan
yang tertancap di atas makam tersebut.
Pernah terjadi pada empat orang anak
muda Desa Loknyiur pada masa lalu.
Yakni Rusli (Utuh Rulli), Anggur, Basuni,
dan Aini. Keempat anak muda ini sedang
asyik bagarit (berburu). Karena tidak
mendapat binatang buruannya maka
sasaran emosionalnya adalah
menendang dan memukul nisan dari
makam tadi.
Yang menendang adalah Basuni (Asun),
Aini, dan Anggur hanya sedikit
memukul. Sementara Rusli tidak ikut
melakukan hal seperti mereka. Tak lama
kemudian Basuni dan Aini mendapat
musibah dan langsung meninggal dunia.
Sedangkan Anggur menderita penyakit
lemah dan tidak sekuat sebagaimana
masih muda dulu lagi. Sedangkan Rusli
karena tidak ikut melakukan perbuatan
tersebut tidak mendapat dampak dari
perbuatan masa lalu.
Dilain kesempatan ada
seorang anak muda yang iseng dan
nekad mencabut sebuah nisan makam
yang terbuat dari kayu ulin. Lalu
dipotongnya untuk dibuat mainan
gasing. Tidak berapa lama orang yang
nekad mengambil nisan tadi mendapat
musibah meninggal dunia. Atas peristiwa
tadi hingga sekarang makam tersebut
tersisa hanya satu nisan yang masih
utuh tertancap di atas pusaranya.
Sekitar tahun 1999 Desa
Loknyiur kedatangan rombongan tamu
dari Martapura Kabupaten Banjar.
Mereka datang naik mobil taksi Colt
L-300. Rombongan tersebut diterima
langsung oleh Rusli (Utuh Rulli) yang
dianggap sebagai tetuha kampung.
Rombongan itu menanyakan
dimana letak makam keramat. Rusli tidak
pikir panjang lalu menunjuk makam
yang ada di bantaran sungai Martajiwa.
Rombongan minta ijin untuk diantar ke
makam yang pada waktu itu hanya bisa
dicapai dengan naik jukung untuk
sampai ke lokasi makam.
Sesampainya disana
rombongan melakukan ritual dengan
iringan do’a beserta dzikir, tasbih,
tahmid, dan tahlil. Selesai melaksanakan
acara tersebut, para penziarah langsung
minta kembali. “ Mohon dan tolong
makam ini dijaga dan dirawat sebaik-
baiknya karena makam ini termasuk
makam yang diberi keramat oleh Allah
SWT,” ujar para penziarah kepada Rusli
sebelum meninggalkan makam.
Diawal tahun 2002 datang dua
orang yang berasal dari Barabai
Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Salah seorang mengaku sebagai guru
pada salah satu pesantren di Barabai.
Sementara yang satunya lagi mengaku
pensiunan Kepala PU HST. Keduanya
tidak mau menyebutkan nama.
Lantas mereka juga bertanya
kepada Rusli dimana disini ada makam
Datu yang punya keramat. Seperti
semula Rusli menjawab dan menunjuk
makam yang ada di bantaran sungai
Martajiwa. Kedua orang tadi sama
halnya dengan rombongan yang datang
dari Martapura dalam arti bersama-
sama ziarah dengan iringan do’a serta
dzikir, tasbih, tahmid, dan tahlil. Selesai
ziarah kedua orang tersebut langsung
kembali. Sebelum meninggalkan makam
sempat berpesan kepada Rusli mohon
makam itu dijaga dan dirawat sebaik-
baiknya. Karena makam itu diberi
keramat oleh Allah SWT.
Di sekitar makam ada
tersimpan benda bersejarah dan
mempunyai nilai yang tinggi. Orang yang
dimakamkan itu bernama Datu
Muhammad Rais.
Kemudian kedua orang
tersebut sempat mengatakan kepada
Rusli kalau memang mendapat petunjuk
mereka akan datang kembali. Rupanya
mereka berdua mendapat petunjuk, dua
hari kemudian mereka datang lagi
dengan perlengkapan seadanya siap
untuk melakukan penggalian
berdasarkan intuisi, naluri dan mata
hatinya.
Sehingga pada keesokan
harinya, tepat pada jam tujuh pagi
mereka berdua didampingi oleh Rusli
memulai mengerjakan dengan
perhitungan-perhitungan sekitar 5
meter sebelah timur dari nisan tadi
posisi yang harus digali. Dengan penuh
kehati-hatian sekrup dan sundak secara
deras memancar di setiap sudut dan sisi
lobang.
Konon katanya lobang yang
digali tersebut adalah sebuah sumur tua
yang airnya secara turun-temurun tidak
akan pernah kering dan mampu
memberikan makna kehidupan bagi
orang-orang kampung masa lalu. Air
tersebut juga mampu memberikan
kesembuhan dengan berbagai jenis
penyakit yang diderita orang pada saat
itu.
Proses penggalian sudah
dilaksanakan dan terus diupayakan
hingga menghabiskan waktu yang cukup
lama, namun upaya tersebut mendapat
kendala yang cukup berat untuk
dilanjutkan. Mungkin belum dapat ijin
dan restu dari Yang Kuasa sehingga
tidak membuahkan hasil seperti apa
yang mereka harapkan. Akhirnya
terpaksa dihentikan.
Pada tahun 2002 pula, datang
rombongan dengan menggunakan 5
(lima) buah mobil taksi Colt L-300.
Rombongan itu datang secara
terorganisir berlabelkan massa
penziarah makam Wali Songo yang
kebanyakan berasal dari Martapura.
Namun diantaranya ada juga yang
berasal dari Sungai Danau, Tanah
Bumbu.
Tersebutlah yang namanya
Baseri yang asal-usulnya berasal dari
Loknyiur dan bermukim di Sungai
Danau. Ketika rombongan Baseri
berziarah ke Makam Wali Sunan Ampel
di Surabaya, tanpa diduga ada salah
seorang penjaga makam langsung
menyapa dan berucap, “ Hei Saudara !
Kenapa berziarah jauh-jauh datang
kesini dengan banyak menghabiskan
uang dan tenaga. Sementara makam
datu yang ada di kampung kamu sendiri
belum pernah diziarahi.”
Bagai disambar petir tersontak
bathinnya menganalisis kata-kata orang
tersebut. Seraya ia mengucap istighfar
tiga kali. Dilatar belakangi retorika
tersebut munculah ide para penziarah
untuk datang ke Loknyiur sebagai bagian
dari program perjalanan mereka guna
melengkapi pengalaman hiudp dan sisa-
sisa petualangannya. Karena dengan
segudang pengalaman berziarah,
rombongan mereka sempat mengajak
warga masyarakat Loknyiur untuk
bersama-sama melaksanakan haulan
secara kecil-kecilan dalam arti aruh
basalamatan seadanya.
Pada tanggal 7 Oktober 2004
lagi-lagi Loknyiur kedatangan sebanyak
3 (tiga) orang mengaku berasal dari
Palingkau, Kalimantan Tengah. Ketiga
orang tersebut terdiri dari dua orang
perempuan dan satu laki-laki. Kedua
orang perempuan tadi bernama Irus
dan Idah masih dalam satu keturunan
yang sama didampingi laki-laki yang
bernama Hadran dengan panggilan
akrabnya.
Berdasarkan silsilah dari garis
keturunan ketiga orang tersebut,
ternyata juga masih berdarah Loknyiur
yang sekian lama berdiam di kampung
orang. Dari silsilah tersebut, Idah, Inur,
dan Hadran datang membawa kisah
pengalaman hidupnya yang mungkin
orang lain tidak pernah mengalaminya.
Idah menceritakan bahwa ada saudara
kandungnya yang sejak bayi menghilang
(gaib) entah dimana dan siapa yang
membawanya sehingga tidak tahu
dimana rimbanya hingga sekarang ini.
Tapi sewaktu-waktu muncul
menemuinya dengan meminjam raga
Idah dan saudara-saudara kandung
lainnya, diantaranya akhir-akhir ini
mengajak untuk berziarah ke makam
tersebut.

Penulis : Ahmad H

Temenggung Jalil dan Sejarah Perang Banjar

Suatu hari di Benteng Tundakan,
Awayan. Semilir angin pegunungan
seakan menentramkan bumi dari
sengatan matahari yang membakar. Ada
di dalam benteng Tumenggung Jalil,
Pangeran Miradipa, Tumenggung Naro,
Angkawaya (pejuang wanita), bersama-
sama 500 rakyat pejuang. Tundakan
mendapat kehormatan hari itu karena
pemimpin utama rakyat Banjar,
Pangeran Antasari, kebetulan datang
berkunjung.[1] Akan tetapi pada saat
yang sama Tundakan juga kedatangan
“tamu” yang lain. Mereka adalah 200
lebih tentara Belanda di bawah
pimpinan Kapten Van Langen dan
Kapten Van Heyden. Tuan rumah segera
“menjamu” mereka dengan tembakan
gencar dari 30 pucuk lila, beberapa
pucuk bedil dan pamoras, selebihnya
dengan senjata-senjata tradisional.
Pertempuran pun pecah. Letusan
senapan, dentum meriam, dan desing
peluru berpadu dengan erangan korban
yang berjatuhan. Ketika pasukan
Belanda tengah fokus pada perlawanan
sengit dari dalam benteng, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh munculnya
sesosok pejuang dengan sekelompok
pengikutnya yang langsung menerjang
ke barisan mereka. Pejuang itu
mengamuk. Pekik jihadnya seakan
seirama dangan kelebatan parangnya
yang menyambar ke segala arah. Dialah
Tumenggung Jalil. Seperti pertempuran-
pertempuran lain dalam menghadapi
kekuatan pribumi, pada Pertempuran
Tundakan pun pihak Belanda memiliki
persenjataan yang lebih unggul. Namun
mungkin karena konsentrasi mereka
terpecah oleh perlawanan sengit dari
dalam sekaligus dari luar benteng,
pasukan Belanda terpaksa mundur dari
Tundakan.[2] Hanya saja kemenangan
pihak Banjar ini rupanya merupakan
pertempuran terakhir bagi Tumenggung
Jalil. Seusai pertempuran, kawan-kawan
seperjuangannya menemukan jasad sang
tumenggung jauh di luar benteng, ada
di antara tumpukan mayat serdadu
Belanda yang tewas oleh amukannya.
Sesudah luka-lukanya dibersihkan,
mayatnya kemudian dimakamkan secara
rahasia di suatu tempat tidak jauh dari
benteng.[3] Di mata Belanda, Jalil
rupanya dipandang sebagai musuh yang
dosa-dosanya tak terampuni. Untuk itu
mereka memburunya hingga ke liang
kubur. Beberapa tahun setelah
kematiannya, seorang pengkhianat
memberitahukan letak kubur Jalil. Para
kaki tangan Belanda segera
membongkarnya. Jenazah Jalil
“dieksekusi”. Kepalanya diambil untuk
kemudian disimpan di Museum Leiden
Belanda sebagai salah satu piala
kemenangan, simbol kejayaan
kolonialisme masa lalu. Sementara sisa
jasadnya dihancurkan. Gazali Usman lalu
menyebutnya sebagai … “Pejuang
Bangsa yang tak memiliki kubur.”[4]
Pengantar Dalam studi sejarah Banjar,
tokoh Jalil atau Tumenggung Jalil dan
Pemberontakan Banua Lima (gerakan
sosial yang ia pimpin) sebenarnya telah
sering ditulis orang, kendati ia sekedar
diposisikan sebagai tokoh atau tema
“pinggiran” untuk menunjang tema
utama (biasanya tentang Perang Banjar).
Penempatan seperti ini membuat
pemahaman tentang ketokohan dan
peran sejarahnya cenderung terjebak
pada sudut pandang heroisme semata.
Jika mengacu Helius Sjamsuddin, tipe
penulisan “nasionalistik” semacam ini
terlalu simplistis dan akan merugikan
suatu diskusi sejarah yang serius.[5]
Belum ada misalnya, yang
menjadikannya sebagai sebuah
fenomena historis yang terkait erat
dengan nilai-nilai kultural lokal yang
mem-background-nya. Belum ada pula
yang secara khusus mengkaji
Pemberontakan Banua Lima yang
dipimpinnya dari perspektif ilmu sosial,
yaitu dengan menggunakan teori-teori
gerakan sosial. Nah, tulisan ini hendak
mengisi ruang kosong tersebut.
Penyebutan Pemberontakan Banua Lima
sebagai gerakan jaba, untuk
menunjukkannya sebagai sebuah
gerakan dari kaum jaba (golongan
rakyat biasa) dan dipimpin oleh seorang
tokoh jaba bernama Jalil. Sesuai dengan
nama pemimpinnya, gerakan itu dalam
pembahasan ini juga akan disebut
gerakan Jalil. Latar Belakang Sosio Politis
Berdasarkan forklor populer di daerah
ini[6], masyarakat Banjar melacak asal-
usul mereka ke masa legendaris,
Kerajaan Negara Dipa. Pada satu babak
dikisahkan, ketika Ampu Jatmika akan
wafat ia memanggil Ampu Mandastana
dan Lambung Mangkurat. Dalam
sekaratnya penguasa pertama itu
berpesan kepada kedua putranya
tersebut agar jangan menggantikannya
sebagai raja. Sebab bencana dan
malapetaka akan menimpa jika orang
bukan turunan bangsawan seperti
mereka menerima kehormatan sebagai
raja. Ampu Jatmika sendiri yang bergelar
Maharaja di Candi, meski ia yang
membangun Negara Dipa dan berkuasa
di kerajaan itu, tetapi ia meletakkan
kekuasaan tertinggi pada sepasang
patung yang ada di Candi Agung sebagai
wakil dewa. Sedangkan ia hanyalah
bertindak selaku pelaksana saja. “Etika
politik” ini berakar dari konsepsi
Hinduisme sebagai keyakinan yang
dianut pada masa itu. Dihikayatkan,
Ampu Jatmika adalah anak dari Saudagar
Mangkubumi. Dari nama ayahnya itu
dapat diketahui, keluarga pendiri Negara
Dipa ini memang tidak berkasta ksatria
(kaum bangsawan), melainkan berkasta
waisya (golongan pedagang).
Selanjutnya kata Ampu Jatmika, apabila
ia meninggal hendaklah patung di candi
itu dilemparkan ke laut, dan kedua
putranya dititahkan untuk bertapa
sampai menemukan raja manusia yang
ditunjuk dewa. Segera setelah Ampu
Jatmika mangkat, Lambung Mangkurat
dan Ampu Jatmika melaksanakan wasiat
sang ayahanda. Dari pertapaannya di
sebuah pusaran air yang dalam,
Lambung Mangkurat menemukan Putri
Junjung Buih yang kemudian ditahtakan
sebagai raja putri di Negara Dipa. Putri
ini lalu dikawinkan dengan seorang
Pangeran Majapahit bernama Raden
Putra yang kemudian juga ditahtakan
sebagai raja dengan gelar Pangeran
Suryanata. Dari pasangan inilah tercipta
kaum bangsawan Banjar, yang menjadi
raja-raja Negara Dipa berikutnya, dan
raja-raja di Negara Daha, serta Kerajaan
Banjar sebagai kerajaan-kerajaan
lanjutan. Menurut tradisi, kepada
merekalah masyarakat Banjar[7]
meletakkan kesetiaan dan pengabdian
dalam tata hidup berkerajaan. Proses
terbentuknya dinasti raja di atas sejalan
dengan konsep deva raja seperti yang
kerap dikemukakan M.Z. Arifin Anis,
bahwa hanya kaum bangsawan yang
menurunkan raja-raja sebagai wakil
dewa di dunia.[8] Telaah Husni Abar
atas Hikayat Banjar menyimpulkan, sejak
saat itu masyarakat Banjar
terstratifikasikan ke dalam dua
golongan, yaitu golongan tutus (kaum
bangsawan) dan golongan rakyat biasa
(kaum jaba).[9] Anis mengakui,
fenomena ini mirip dengan konsep
kawula gusti di Jawa, di mana
masyarakat terbelah menjadi dua
lapisan, penggede dan wong cilik.
Namun Sejarawan FKIP Unlam ini juga
menunjukkan adanya perbedaaan dalam
penerapannya di Banua. Jika di Jawa hak
memerintah melulu ada pada raja
sebagai pemilik wahyu dan pulung,
maka di daerah ini kedudukan raja lebih
merupakan kedudukan magis religius
(cenderung sebagai simbol semata).
Sementara kekuasaan yang bersifat
profan (tereprentasikan pada jabatan
mangkubumi) merupakan hak orang
jaba yang memiliki kecakapan dan
pengetahuan yang didukung oleh
pengalaman.[10] Kepeloporan Ampu
Jatmika dan dominannya peran Patih
Mangkubumi Lambung Mangkurat dalam
tata pemerintahan Negara Dipa
memperlihatkan dominasi kaum jaba
dalam kekuasaan duniawi, seperti
pendapat Anis di atas. Sedangkan raja-
raja pada masa itu serupa
kedudukannya dengan sepasang patung
pada saat Ampu Jatmika berkuasa, yaitu
berposisi sebagai wakil dewa yang
melegitimasi kekuasaan manusia (kaum
jaba) di dunia. Tahta dalam konteks ini
lebih merupakan kedudukan religius,
yaitu sebagai sumber legitimasi politik.
Meskipun Kerajaan Banjar yang muncul
pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam,
namun tradisi politik yang diwariskan
dari masa Hindu (Negara Dipa) ternyata
tetap kuat mewarnai proses
pembentukan dan perjalanan kerajaan
baru tersebut. Sampai datangnya masa
Raja Banjar ke-6 Sultan Saidullah, di
mana kedudukan mangkubumi dijabat
paman sultan sendiri[11], peranan kaum
jaba sebenarnya cukup signifikan di
dalam tata pemerintahan. Sama halnya
dengan pembagian kekuasaan pada
masa Negara Dipa, sejak raja pertama
Sultan Suriansyah, jabatan mangkubumi
diberikan kepada seseorang dari
kalangan rakyat biasa (kaum jaba) yang
cakap, mampu dan berdedikasi.[12]
Dalam lingkup lebih sempit, kita akan
berusaha menyingkap pengaruh tradisi
politik ini di dalam gerakan Jalil.
Penindasan Ekonomi Gerakan Jalil adalah
sebuah gerakan rakyat yang muncul
pada pertengahan abad ke-19 di Banua
Lima, sebuah daerah Kerajaan Banjar
yang meliputi daerah Negara, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai dan Kelua.[13] Ia
merupakan daerah setingkat provinsi
yang subur tanahnya[14] paling padat
dan makmur penduduknya,[15]
karenanya ia merupakan daerah
pertanian utama dan sumber pajak
terbesar. Idwar Saleh[16] menyebutnya
sebagai gudang padi kerajaan.
Munculnya gerakan Jalil tidak bisa
dilepaskan dari situasi masa itu, di mana
penetrasi politik Belanda yang
berlangsung sejak akhir abad ke-18
semakin menemukan efektifitasnya di
Kerajaan Banjar. Melalui kontrak demi
kontrak yang ditandatangani kedua
pihak, status kerajaan akhirnya tereduksi
menjadi setingkat vasal saja di dalam
sistem pertuanan Belanda. Wilayah
kerajaan yang disebut Tanah Sultan
semakin dipersempit seiring dengan
diperluasnya Tanah Gubernemen
(sebutan untuk bekas wilayah kerajaan
yang diperintah langsung Belanda). Ini
berhubungan dengan meningkatnya
grafik kepentingan ekonomi kolonial,
khususnya sejak ditemukan dan
diproduksinya tambang batubara di
daerah ini. Dengan wilayah yang
semakin terdesak ke pedalaman,
Kerajaan Banjar terpaksa kembali
bercorak agraris seperti masa Negara
Dipa. Padahal beberapa abad
sebelumnya, kerajaan ini dikenal sebagai
negeri maritim. Oleh karena telah
berpaling pada sistem agraris, Kerajaan
Banjar menjadi sangat bersandar pada
sistem pajak untuk menghidupi keraton.
Aneka pajak yang dipungut dari rakyat,
meliputi; pajak kepala, cukai uang
sepersepuluhan, sewa tanah, pajak
perahu, serta pajak penggalian intan dan
emas. Pajak kepala ditarik dari tiap-tiap
keluarga, besarnya tergantung jumlah
anggota keluarga. Untuk penduduk yang
sudah menikah, pajak kepala ditentukan
sebanyak f 4,30 dan bagi yang belum
menikah f 3. Bagi yang hanya mampu
membayar separo, apalagi yang tidak
mampu membayar, harus melakukan
kerja wajib kepada sultan.[17] Dengan
menyempitnya wilayah kekuasaan, maka
berkurang pula sumber penghasilan
keraton. Untuk menutupinya, pihak
kerajaan terpaksa menaikkan pajak dua
kali lipat. Kenaikan itu dimulai pada
masa Sultan Sulaiman (1808-1825) dan
dinaikkan lagi dua kali lipat oleh Sultan
Adam (1826-1857).[18] Oleh karena
bertanah subur dan berpenduduk
padat, maka dengan sendirinya
penduduk Banua Lima lah yang
kebanyakan terkena pajak.[19] Tekanan
pajak yang berat itulah yang
menyebabkan rakyat menjadi sengsara
dan menderita, sehingga pada tahun
1854 sebanyak 150 orang kepala
keluarga dari penduduk Amuntai
menemui Residen van der Ven di
Banjarmasin untuk mengadukan nasib
mereka. Jalil, pemimpin mereka,
memohon agar mereka diijinkan pindah
ke wilayah kekuasaan Belanda, tapi
residen menolaknya.[20] Fenomena ini
menarik dikaji, karena rakyat Banjar–
minimal sebagiannya–ternyata lebih
suka tinggal di wilayah Belanda daripada
di wilayah yang diperintah rajanya
sendiri. Di samping yang telah
disebutkan, aspek lain dari masyarakat
Banua Lima diungkapkan oleh Helius
Sjamsuddin, bahwa selain mayoritas
petani, mereka juga dikenal sebagai
pengrajin (terutama orang Negara) dan
pedagang yang ulet. Mereka umumnya
adalah penganut Islam yang taat. Dari
sudut pandang Belanda, orang-orang
Banua Lima mudah sekali dibangkitkan
untuk berontak, terutama jika
perlawanan dikaitkan dengan fanatisme
Islam. Di samping itu, penduduk di sini
memiliki ikatan kultural yang kuat
dengan kerajaan. Bahkan, jauh sesudah
Kerajaan Banjar dihapus Belanda
(1860), tempat ini masih dipandang
sebagai “tanah subur” bagi kaum royalis
yang mempropagandakan legitimitas
untuk merestorasi kerajaan tersebut.
[21] Selama bertahun-tahun terdapat
perasaan frustasi di kalangan rakyat
Banua Lima terhadap kepala daerah
mereka, Kiyai Adipati Danuraja, karena
tindak kesewenang-wenangan dan
penghisapan.[22] Namun
kepemimpinannya ditopang legitimitas
politik yang kuat, karena ia adalah
kerabat istana. Ayahnya adalah
penduduk kelahiran Amuntai yang
karena berjasa pada kerajaan, maka
sultan memberinya gelar pembakal
sehingga terkenal sebagai Pembakal
Karim.[23] Dari hasil perkawinannya
dengan saudari Nyai Ratu Komala Sari
(Permaisuri Sultan Adam), pembakal itu
memiliki dua orang anak, Jenal (Zainal?)
dan Aluh Arijah. Sebagai ipar sultan,
Pembakal Karim juga diberi gelar Kiyai
Ngabehi Jaya Negara, sedangkan sebagai
kemenakan sultan, ‘Zainal’ diberi gelar
Kiyai Adipati Danureja. Kedua anak
beranak ini diberi tugas oleh sultan
mengatur pemerintahan Banua Lima,
tetapi pemerintahan mereka tidak
disenangi rakyat karena sifatnya yang
sewenang-wenang. Danureja
mengorganisir perampokan lada dan
perbudakan di daerah Pasir. Dalam
menjalankan kekuasaan, ia juga
memberlakukan hukuman mati kepada
terdakwa, padahal menurut aturan yang
berlaku: “sembarang orang baik radja2
(para penguasa lokal) tiada boleh sekali
mengerdja orang hukum mati meski
bagaimana dia punya kesalahan
melainkan sultan sendiri jang boleh
mengerdja hukum mati di atas orang
jang sampai hukumannya…”[24](bold
oleh penulis). Oleh Danureja dan
keluarganya, tanah-tanah pribadi milik
penduduk dapat diambil sesuka hati dan
ia juga kerap menetapkan denda-denda
yang tak adil serta berat sekali. Kepada
petani dinaikkannya pajak kepala
sebanyak dua kali lipat yang dibayar dua
kali setahun.[25] Di samping itu ia juga
menyewa para penjahat untuk
membunuh musuh-musuhnya.
Walaupun jabatan Kiyai Adipati bukan
jabatan pusat, namun perlu diingat,
siapapun yang memerintah Banua Lima
berarti ia memegang “daerah terbasah”
seantero negeri. Bagi kerajaan, daerah
subur yang padat penduduk itu memiliki
arti penting sebagai penyumbang pajak
terbesar. Sebagai kerabat raja, tak
seorang pun yang berani menyentuh
Danureja. Satu-satunya orang yang
berani melawan Danureja adalah
sepupunya sendiri yang bernama Jalil.
[26] Ia seorang jaba, bukan turunan
bangsawan. Lahir sekitar tahun 1820 di
kampung Palimbangan, Amuntai.[27]
Sejak kecil Jalil dikenal pemberani dan
pendekar ilmu silat.[28] Meski
bersepupu dengan Danureja, Jalil adalah
bagian dari rakyat Banua Lima yang
menjadi korban kesewenangannya. Ia
begitu mendendam Danureja karena
ayahnya dihukum mati oleh penguasa
lokal itu, padahal seperti telah disebut,
hukuman semacam itu hanya boleh
dilakukan (hak prerogatif) sultan.
Pemberontakan Pecah Sementara itu di
Istana Banjar terjadi faksionalisme,
terutama antara kubu Pangeran Hidayat
melawan kubu Pangeran Tamjid,
sehubungan dengan penentuan calon
pengganti Sultan Adam. Salah satu asfek
politik dari Kontrak 1826 yang
ditandatangani Sultan Adam sendiri
menyebutkan, soal pergantian tahta
kerajaan harus dikonsultasikan dengan
Pemerintah Belanda: “Kapan datang
suatu masa hukum Alloh Sri Paduka
Sultan meninggalkan melainkan siapa
jang sudah kesukaan geburmin djadi
pangiran ratu lantas berdiri djadi
mengganti dia punja kedudukan Sultan
itu pegang keradjaan dan habis djadi
Sultan baru menundjuk dia punja
kesukaan akan pangiran2 jang djadi
ganti kedudukan pangiran ratu maka
tuan Sultan mesti dahulu minta
kesukaan kepada orang besar di Betawi
baru tuan Sultan itu turut adat
bagaimana dahulu2 mendjadikan nama
pangiran ratu itu serta diwartakan
kepada orang2 semuanja.”[29] Kondisi
ini memungkinkan Belanda melakukan
campur tangan sesuai dengan
kepentingan mereka. Malapetaka terjadi
ketika Sultan Adam wafat tahun 1857,
Belanda mengangkat Pangeran Tamjid
sebagai raja yang baru, meski almarhum
sultan melalui surat wasiatnya lebih
memilih Pangeran Hidayat. Dinamika
politik istana ini tak berpengaruh banyak
terhadap karir Danureja. Selaku pengikut
sultan, posisinya tetap kokoh di puncak
kekuasaan Banua Lima. Terlebih lagi
sultan baru ternyata juga melakukan
penindasan terhadap rakyat di sana.
Sesuai tradisi, penduduk Alabio, Sungai
Banar, dan Kelua setiap tahun
diwajibkan mengirim dua ratus orang
penduduknya untuk menjadi Pasukan
Pengawal Sultan.[30] Namun sejak
Tamjid naik tahta, mereka tak pernah
lagi mendapat bantuan makanan dan
imbalan atas tugas ini seperti masa
sebelumnya. Keberatan-keberatan
mereka tak dihiraukan sultan.[31] Pada
sisi lain, wafatnya Sultan Adam yang
dihormati rakyat itu, sedikit banyaknya
memberi dampak pada rakyat Banua
Lima. Jika sebelumnya mereka
cenderung menghindar (seperti niat
pindah mereka ke wilayah Belanda
tahun 1854) dari penindasan Danureja,
ini mungkin terkait dengan rasa hormat
tersebut. Namun dengan kematian
sultan tua, mereka seakan tak lagi
melihat tembok tebal yang selama ini
dijadikan Danureja sebagai “tameng”
atas segala kesewenang-wenangannya.
Tidak heran apabila sejak itu pergerakan
rakyat di daerah ini mulai dijangkiti
gejala radikalisme. Pada bulan Juli 1858
serangkaian kerusuhan pecah di Banua
Lima.[32] Jalil dan pengikutnya menolak
membayar pajak kepala yang ditarik
Danureja pada bulan September. Kasus
ini segera dilaporkan Danureja kepada
sultan di Banjarmasin. Oleh sultan, Jalil
dipanggil sampai dua kali, tapi ia tak
pernah menggubrisnya. Ayah Danureja,
Kiyai Ngabehi Jaya Negara, mengancam
akan menggunakan kekerasan bila pajak
itu tidak dibayar. Ancaman ini dijawab
Jalil dan pengikutnya dengan memagari
rumah-rumah mereka sebagai benteng
pertahanan. Seorang bernama Kuncir
menghadap sultan dan menyatakan
sanggup menangkap dan membawa Jalil
hidup atau mati. Setelah diijinkan,
Kuncir segera berangkat ke Amuntai
bersama enam orang Panakawan. Tapi
justru mereka yang kemudian mati
dalam perkelahian melawan Jalil dan
pengikutnya. Kiyai Adipati Danureja
kemudian dengan 2000 orang pasukan
berangkat ke Batang Balangan untuk
menghukum Jalil yang dipandang sebagai
pemberontak kerajaan. Namun ekspedisi
ini terpaksa dibatalkan karena dilarang
Residen di Banjarmasin. Residen
memandang tindakan semacam itu
menyalahi Perjanjian 1826 yang di
antaranya ada menyebutkan,
pemberontakan dalam negeri adalah
kewenangan Belanda untuk
menumpasnya[33]. “Geburmin
Nederland berdjandji akan menolong
dengan dia punja alat sama Sri Paduka
Sultan barangkali ada suatu masa orang
mana2 baik orang lain2 negeri jang mau
mengerdja djahat sama Sri Paduka
Sultan….”[34] Gerakan Jalil di Tengah
Intrik Politik Istana Frustasi menghadapi
Pemberontakan Banua Lima, sultan
akhirnya memerintahkan Pangeran
Hidayat yang saat itu telah diangkat
selaku mangkubumi untuk
menyelesaikan kasus tersebut.
Sesampainya di Amuntai, mangkubumi
bermalam di rumah Jalil dan menerima
pengaduan rakyat tentang Danureja
selama ini. Untuk itu Hidayat
berkeputusan memecat Danureja dan
kemudian mengangkat Jalil selaku mantri
mangkubumi dengan gelar Kiyai Adipati
Anom Dinding Raja, dan kepadanya
diberi simbol-simbol kebangsawanan
berupa pedang dan tombak berlilit.
Atribut mantri ini diperkuat sebuah
surat perintah agar ia bertindak atas
nama mangkubumi, serta diberi pula
sebuah cap mangkubumi. Manuver
politik Hidayat di atas jelas dapat dibaca
sebagai upaya menaikkan posisi
tawarnya di dalam intrik politik melawan
Sultan Tamjid yang didukung Belanda.
Hidayat selaku mangkubumi memang
mempunyai hak eksekutif untuk
mengambil tindakan semacam itu di
dalam proses berkerajaan.[35] Di pihak
Jalil, pengangkatannya selaku mantri
mangkubumi dengan sendirinya
membuat gerakan yang dipimpinnya
terlegitimasikan. Ia dan pengikutnya
yang sebelumnya diidentifikasi sebagai
pemberontak, kini muncul menjadi
kekuatan resmi. Seiring dengan jatuhnya
kendali pemerintahan Banua Lima ke
tangannya, pengaruhnya pun meluas,
bahkan menembus batas-batas Banua
Lima. Pada permulaan Maret 1859
penduduk daerah Para sampai Banua
Belimbing, dan penduduk Balangan
sampai Tabalong mengakui kekuasaan
Jalil selaku mantri mangkubumi. Dengan
bertambah kuatnya kedudukan Jalil yang
merepresentasikan kekuasaan
mangkubumi, maka pengaruh sultan
pun habis sama sekali di daerah ini.[36]
Tersingkirnya Hidayat dari tahta ternyata
tidak menghentikan persaingannya
dengan Sultan Tamjid, dan ini
terefleksikan pada gerakan Jalil.
Sebelumnya gerakan ini sangat bercorak
lokal dengan penguasa Banua Lima
sebagai sasaran, namun dengan
keterlibatan Hidayat di dalamnya,
gerakan rakyat itu mulai dijangkiti ide-
ide revolusioner terhadap kedudukan
sultan sendiri. Terbukti, beberapa bulan
sesudah pecahnya Perang Banjar (28
April 1859), para ulama dan rakyat
Amuntai (peserta gerakan Jalil)
menobatkan Pangeran Hidayat sebagai
Raja Banjar dengan gelar Sultan
Hidayatullah Halilullah, sesuai wasiat
Sultan Adam.[37] Gerakan Jalil Dalam
Perang Banjar Seperti halnya potensi
rakyat Banjar lain pada awal tahun
1859, gerakan Jalil pun akhirnya ikut
terseret ke dalam huru-hara terbesar di
Kalimantan waktu itu, yakni Perang
Banjar. Adalah Pangeran Antasari yang
berperan dalam mengitegrasikan
gerakan rakyat Banua Lima ke dalam
front pribumi versus Belanda. Tidak
diketahui pasti, kapan sebenarnya
Antasari datang ke daerah subur ini.
Namun terdapat keterangan ketika pada
27 Maret 1859 Sultan Tamjid
mengancam akan menangkap pangeran
itu karena ia dicurigai telah
bersekongkol dengan Aling, pemimpin
rakyat Muning (Tapin), untuk
memberontak kepada sultan. Ancaman
itu dibalas Antasari dengan jawaban
menantang seraya terus mematangkan
persiapan perang bersama Aling. Baru
setelah ini ia berangkat ke Banua Lima
untuk menemui Jalil di Amuntai guna
mendapatkan dukungannya.[38]
Apapun halnya, Antasari rupanya
berhasil membawa Jalil dan pengikutnya
kepada akar permasalahan. Bahwa,
segala penindasan yang selama ini
mereka terima dari penguasa lokal,
sesungguhnya tidak lepas dari politik
kolonialisme Belanda di Banua Banjar.
Semakin sempitnya wilayah kerajaan
yang terus digerogoti Belanda
menyebabkan para penguasa lokal tak
punya pilihan lain kecuali
mengeksploitasi rakyatnya sendiri, demi
eksistensi dan prestise keraton.
Pemahaman akan hal ini dengan
sendirinya menumbuhkan kesadaran
nasionalistik di dalam gerakan Jalil yang
sosialistik. Lalu pena sejarah pun rajin
menuliskan kepahlawanannya. Bersama
Antasari, Jalil berusaha menutup Banua
Lima sebagai lumbung padi kerajaan,
sehingga barang pangan tak bisa masuk
ke Banjarmasin dan Marabahan, dua
tempat di mana terdapat pusat
pemerintahan kolonial. Petugas-petugas
cukai sultan diusir, sehingga pajak lalu
lintas barang dari Margasari dan negara
jatuh ke tangan mereka.[39] Mungkin
karena inilah pada 13 April 1859 sultan
melaporkan kepada Residen Von
Bentheim, bahwa Jalil telah menahan
delapan orang barisan-nya.[40] Dua
hari setelah itu, tanggal 15 April, dalam
suratnya yang sangat rahasia ke Batavia,
residen diantaranya melaporkan, bahwa
semua pemasukan dari tempat-tempat
pemungutan pajak di Tanah Sultan telah
diambil alih oleh para pemberontak.[41]
Kemungkinan masih atas instruksi
Antasari ketika Jalil dikabarkan, bahwa ia
mengusahakan kepala Dusun Hulu
Tumenggung Surapati, penduduk
Marabahan, dan Sultan Pasir Pangeran
Kesuma, agar memihak kepadanya.[42]
Tentang kenapa harus Jalil yang
mengemban tugas ini, mungkin karena
ia dianggap memiliki akses ke daerah
Dayak tersebut. Sebab, seperti yang
dilaporkan H.G. Maks, Jalil memiliki
hubungan keluarga dengan Pembakal
Sulil, salah seorang kepala dari Tanah
Dayak dan Dusun. Idwar Saleh
menyebut hubungan Jalil dan Sulil
adalah ipar.[43] Khusus dalam kaitan
perang, Jalil memang terkesan lebih
dekat dengan Antasari, bahkan terdapat
petunjuk ia mati sebagai “martir”
pangeran itu. Namun kedekatannya
dengan Hidayat tetap terjaga. “Sultan”
itu bahkan sempat memberinya lagi
gelar Tumenggung Macan Negara[44],
sebuah gelar monumental bagi Jalil.
Sebab, sejak itu ia lebih dikenang
sebagai Tumenggung Jalil. Jalil adalah
Pejuang Banjar yang menjadikan sungai,
hutan dan gunung di daerah Amuntai,
Tabalong, dan Balangan sebagai medan
gerilya yang sukar ditaklukkan musuh. Ia
bahkan sempat memberi Belanda
kekalahan dalam beberapa
pertempuran. Namun setelah kurang
lebih tiga tahun mengarungi masa
perjuangannya nan heroik, Jalil akhirnya
harus tunduk pada “takdir sejarah”
bahwa ia berada pada pihak yang kalah.
Pejuang jaba ini (sebagaimana tergambar
pada awal makalah) gugur pada tanggal
24 September 1861 ketika
mempertahankan Benteng Tundakan di
Awayan dari serbuan serdadu Belanda.
[45] Gerakan Jalil Dalam Persfektif
Gerakan Sosial Pada sebuah tulisannya,
Yusliani Noor menyatakan empat
komponen yang lazim sebagai pemicu
gerakan, antara lain; Struktur Ekonomi
Politik, Kepemimpinan, Ideologi, dan
Basis Massa.[46] Kita akan
menggunakan empat komponen ini
untuk menguak karakteristik gerakan
Jalil sebagai sebuah gerakan sosial. 1.
Struktur Ekonomi Politik Jika kembali ke
penjelasan di muka, dapat diketahui
pada abad ke-19 Kerajaan Banjar telah
berorientasi ke sistem pertanian, karena
kemaritimannya telah dirampas Belanda.
Kontrak 1826 dan 1846 berdampak
pada kaum bangsawan. Kian
menyempitnya wilayah kerajaan karena
diambil Belanda menyebabkan tanah-
tanah perkebunan (apanase) mereka
jadi berkurang. Obyek penderita
akhirnya jatuh pada petani[47] melalui
pelipatgandaan pajak yang dikenakan
pada mereka. Pada kondisi di atas,
terasa relevan apa yang dinyatakan
Bambang Subiyakto, bahwa pada tahap
historisnya muncul resistensi masyarakat
pedesaan yang merupakan menifestasi
rasa “keterjajahan” rakyat oleh penguasa
asing.[48] Dalam konteks gerakan Jalil,
jika pun pada awalnya pihak Belanda
justru hendak dituju sebagai tempat
menghindar atau berlindung dari
beratnya beban pajak dan penindasan
penguasa lokal, sebenarnya itu hanyalah
persoalan waktu. Ketika hakikat
kolonialisme telah disadari sebagai akar
permasalahan yang menimpa mereka,
maka muncullah gerakan Jalil dalam
wajah antagonisnya terhadap penguasa
asing tersebut. 2. Kepemimpinan Dalam
sebuah gerakan sosial, faktor
kepemimpinan memainkan peranan yang
sangat menonjol. Sebagai pemimpin
rakyat yang tinggal di pedalaman, Jalil
oleh M.Z. Arifin Anis dikatagorikan
sebagai salah seorang elit tandingan.
Kemunculan elit tandingan menurut Anis
seiring dengan merosotnya elit istana
[49] dan melemahnya kelas elit ini
dalam pandangan Paige menjadi sebab
pecahnya sebuah revolusi.[50] Sejalan
dengan merosotnya elit istana yang
terepsentasikan pada Sultan Tamjid dan
Danureja, maka kedudukan elit
tandingan semakin kokoh sebagai
patron baru bagi rakyat. Kredibilitas
mereka salah satunya ditunjukkan dalam
kemampuannya berolah kanuragan[51]
atau dalam term lokal disebut
kajagauan. Kajagauan Jalil sebagai satu-
satunya orang yang berani melawan
penindasan Kiyai Adipati Danureja jelas
menemukan ruang kosong di hati rakyat
Banua Lima yang tidak berdaya oleh
penindasan itu. Tidak heran apabila ia
kemudian muncul sebagai pemimpin
dengan pengikut yang banyak dari
kalangan mereka. Sementara itu,
penobatan Hidayat sebagai sultan oleh
gerakan Jalil tentu dapat dikatagorikan
sebagai sebuah revolusi dari kelas
bawah (jaba), dan penyebabnya tidak
lain adalah karena melemahnya kelas elit
(Sultan Tamjid) sebagaimana pendapat
Paige di atas. 3. Ideologi Asfek penting
lain di dalam sebuah gerakan sosial
adalah ideologi. Mengingat gerakan Jalil
muncul pada era kolonialisme Belanda,
maka kita dengan mudah menemukan
gejala navitisme sebagi ideologi gerakan
itu. Sebab, gejala navitisme menurut
Sartono Kartodirdjo hanya muncul pada
masa penjajahan sebagai reaksi terhadap
kekuasaan kulit putih.[52] Navitisme
sendiri adalah bentuk dari pengsakralan
gerakan perlawanan untuk kembali ke
tradisi. Ini terjadi ketika hegemoni politik
dan kebudayaan asing dirasa
mengancam identitas pribumi yang
terbungkus di dalam tradisi, di samping
telah menimbulkan kemelaratan dan
degradasi. Pada gerakan Jalil,
perlawanan terhadap Belanda
sesungguhnya dapat pula dibaca sebagai
upaya penegakkan kembali tradisi itu.
Ini terlihat dari proses penobatan
Hidayat sebagai sultan oleh rakyat Banua
Lima. Dalam hal ini mereka seakan
mengabaikan realitas politik, bahwa
Kerajaan Banjar masa itu telah menjadi
“milik” Belanda.[53] Dalam “kondisi
normal” proses suksesi itu seharusnya
melibatkan bangsa Barat itu untuk
dikonsultasikan. Namun sebagai bentuk
perlawanan, melalui peristiwa tersebut
rakyat Banua Lima seakan ingin
meromantiskan masa lalu mereka, ketika
kehidupan istana masih steril dari
campur tangan asing. Seiring dengan
dinobatkannya Hidayat, ibukota kerajaan
dipindahkan ke Amuntai, suatu tempat
yang kebetulan dahulunya adalah pusat
Negara Dipa, cikal bakal Kerajaan Banjar.
Berpindahnya istana dari Martapura ke
Amuntai seakan menunjukkan
“pulangnya” Kerajaan Banjar ke masa
lalu, ke pangkuan “ibu” yang
melahirkannya. Kuatnya nuansa
kemasalaluan di atas, memperlihatkan
adanya gejala navitisme di dalam
gerakan Jalil. 4. Basis Massa Gerakan Jalil
tumbuh di Banua Lima, daerah
pertanian utama kerajaan. Fakta ini
membuat kita dapat menduga, bahwa
seperti umumnya sebuah gerakan sosial,
gerakan Jalil pun berbasiskan petani di
pedesaan. Faktor penyebab utama dari
bangkitnya gerakan itu adalah beratnya
beban pajak yang dikenakan kepada
para petani. Dengan ditambah
kesewenangan kepala daerah mereka,
maka semakin lengkaplah alasan petani
Banua Lima memilih jalan
pemberontakan sebagai saluran protes
mereka. Petani, kata Joel S. Migdal, yang
sering digambarkan sebagai masyarakat
yang melulu bekerja di sawah, apatis,
fatalistik, mendahulukan keluarga
ketimbang kepentingan ekonomi, dan
tidak mempunyai orientasi ke depan,
sekonyong-konyong melakukan aksi
protes, pemberontakan, sehingga
mengejutkan dunia luar.[54] Fenomena
ini menurut M.Z. Arifin Anis dapat
memperlihatkan, bahwa petani ternyata
turut memainkan peranan penting
dalam transformasi sosial dan politik,
serta cukup potensial untuk membangun
suatu perubahan secara radikal.[55] Jika
dikaitkan dengan gerakan Jalil, pendapat
Anis di atas barangkali dapat dibuktikan
dengan beberapa hasil gerakan, seperti
terdepaknya Danureja dari konstelasi
politik Banua Lima, tidak efektifnya
kekuasaan Sultan Tamjid di wilayah itu,
serta terancamnya kebutuhan pangan
Belanda dengan pemblokiran Banua
Lima sebagai lumbung padi kerajaan.
Namun kemenangan terpenting dari
sudut pandang adat dan tradisi adalah
dengan ternobatkannya Pangeran
Hidayat sebagai sultan oleh rakyat.
Dalam hal ini, rakyat yang telah kenyang
oleh penderitaan itu terjelma menjadi
sebuah ancaman potensial bagi
eksistensi Belanda sebagai pemegang
otoritas politik untuk urusan semacam
itu. Gerakan Jalil Dalam Lanskap Tradisi
Seperti telah terurai sebelumnya, dalam
proses pelegitimasiannya, gerakan Jalil
diwarnai oleh adanya interaksi Jalil
selaku pemimpin gerakan dengan
Pangeran Hidayat, seorang pangeran
yang tersingkir dari tahta kerajaan.
Hubungan mereka merefleksikan
interaksi dua golongan yang selalu ada
di dalam tradisi politik masyarakat
Banjar, yaitu antara kaum jaba dengan
kaum bangsawan. Tradisi ini bermula
ketika Ampu Jatmika membuat sepasang
patung di Candi Agung yang dianggap
sebagai wakil dewa di dunia untuk
melegitimasi kekuasaannya di Negara
Dipa. Sesudah penguasa pertama ini
meninggal, posisi sepasang patung itu
digantikan oleh pasangan Putri Junjung
Buih dan Pangeran Suryanata sebagai
sumber legitimasi politik bagi Patih
Lambung Mangkurat. Dari keturunan
pasangan raja itulah tercipta kaum
bangsawan Banjar yang kemudian
terdikotomi dengan kaum jaba selaku
golongan rakyat biasa. Hubungan kedua
golongan itu bersifat vertikal, antara
yang diabdi dengan pengabdi. Dalam
kaitan ini, gerakan Jalil sebetulnya
bukanlah kasus unik dalam sejarah
Banjar. Pada abad ke-16 ketika kerajaan
Negara Dipa telah digantikan Negara
Daha, saat itu di Banjarmasih, sebuah
kampung di daerah pesisir tumbuh
sebuah gerakan yang juga dipelopori
oleh kaum jaba. Serupa dengan gerakan
Jalil, kemunculan gerakan itupun
disebabkan oleh adanya penindasan
ekonomi berupa pupuan (upeti) yang
dilakukan elit kerajaan. Terkisah dalam
forklor populer, Patih Masih sebagai
kepala Banjarmasih berhasil menggalang
kekuatan bersama empat kepala suku
Ngaju yang mendiami empat kampung
yang berdekatan dengan Banjarmasih.
Mereka yang tergabung dalam front
pesisir ini bersepakat untuk bangkit
melawan Negara Daha yang berada di
pedalaman. Perlawanan perlu dilakukan,
sebab menurut Patih Masih: “daripada
kita masih menjadi desa senantiasa kana
sarah dangan pupuan maantarakan
kahulu…” Untuk melegitimasi gerakan
itu, Patih Masih cs kemudian
menghubungi Pangeran Samudra,
seorang pangeran yang tersingkir dari
tahta Negara Daha. Ini tergambar dari
sambungan ucapan sang patih: “…hangir
kita barbuat raja (membuat kerajaan
baru) kalau ia ini (Pangeran Samudra)
yang saparti chabar orang itu cucu
Maharaja Sukarama yang diwasiatkannya
manjadi raja.” Singkatnya, gerakan Patih
Masih yang kemudian dibantu
Kesultanan Demak berhasil merevolusi
Kerajaan Hindu Daha menjadi Kerajaan
Islam Banjar dengan Banjarmasih (kelak
disebut Banjarmasin) sebagai ibukota.
Sesuai wasiat kakeknya, Pangeran
Samudra kemudian dinobatkan sebagai
raja dengan gelar Sultan Suriansyah.
Seperti terbentuknya Negara Dipa,
terbentuknya Kerajaan Banjar pun
ternyata dipelopori oleh kaum jaba.
Sementara Pangeran Samudra yang
merepresentasikan kaum bangsawan
berposisi sebagai pelegitimasi atas
kerajaan baru tersebut. Sama halnya
dengan Lambung Mangkurat, Patih
Masih juga berkedudukan selaku
mangkubumi kerajaan. Kurang lebih tiga
abad berikutnya, pola interaksi semacam
itu kembali terlihat dalam gerakan Jalil,
di mana Jalil tampil sebagai wakil kaum
jaba, dan di pihak bangsawan tampil
Pangeran Hidayat. Senasib dengan
Pangeran Samudra, Hidayat pun adalah
seorang pangeran yang tersingkir dari
tahta. Jika gerakan Patih Masih
terlegitimasi ketika berhubungan dengan
Pangeran Samudra, hal itu pun terjadi
pada gerakan Jalil ketika ia berhubungan
dengan Pangeran Hidayat. Serupa pula
dengan Pangeran Samudra yang
dinobatkan sesuai wasiat kakeknya
(Maharaja Sukarama), Hidayat pun
dinobatkan berdasarkan wasiat kakeknya
(Sultan Adam). Satu hal yang cukup
menonjol dari proses “berkerajaan” di
dalam gerakan Jalil adalah dominannya
peranan kaum jaba. Sebenarnya selain
Hidayat selaku sultan, ada lagi elit
bangsawan yang menduduki kedudukan
penting, yakni Pangeran Wira Kesuma
sebagai mangkubumi[56], namun peran
tokoh ini seperti tenggelam oleh
dominasi Jalil, si jaba yang hanya
menjabat Kiyai Adipati.[57] Dominannya
peranan kaum jaba ini sesungguhnya
hanya ada pada Kerajaan Banjar pada
masa awal dan menemukan idealisasinya
pada zaman legendaris Negara Dipa.
Tidak heran jika kita menemukan
banyak kesamaan antara gerakan Jalil
dengan gerakan Patih Masih seperti
tergambar di atas. Meski kedua gerakan
ini dipisahkan oleh rentang waktu yang
sangat panjang, namun keduanya diikat
oleh tradisi politik yang sama, yaitu
tradisi Negara Dipa. Namun demikian,
tidak seperti gerakan Patih Masih yang
sanggup melestarikan hasil revolusinya
selama berabad-abad, gerakan Jalil gagal
dalam hal yang sama. Kegagalan itu
terutama disebabkan oleh berubahnya
realitas politik di tengah masyarakat
Banjar. Patih Masih berhasil dengan
gerakannya, karena pada masa ia hidup
sumber legitimasi politik masih berada
di tangan kaum bangsawan. Sedangkan
pada masa Jalil, legitimasi itu ternyata
harus pula dicari dari sumber baru,
yaitu Pemerintah Belanda. Penguasa
kolonial ini sejak akhir abad ke-18
berhasil secara resmi menempatkan diri
sebagai “kaum ketiga” di dalam
“stratifikasi politis” masyarakat Banjar.
Ketika tak ada restu dari “kaum ketiga”
ini terhadap gerakan Jalil, maka buyarlah
segala cita-cita gerakan. Kedudukan
kaum bangsawan pada masa itu rupa-
rupanya tak lagi sakti sebagai “wakil
dewa” di dunia, sehingga fungsinya
sebagai sumber legitimasi politik tak lagi
ampuh di dalam realitas. Memang,
realitas baru pada masa itu sudah
terlanjur rapuh untuk menjadi pondasi
bagi tegaknya tradisi lama

Sumber: Norpikriadi

Sabtu, 01 Juni 2013

DIALOG GUS DUR Vs SANTRI

Santri : "Ini semua gara-gara Nabi Adam, ya
Gus!"
Gus Dur : "Loh, kok tiba-tiba menyalahkan
Nabi Adam, kenapa Kang."
Santri : "Lah iya, Gus. Gara-gara Nabi
Adam dulu makan buah terlarang, kita
sekarang merana. Kalau Nabi Adam dulu
enggak tergoda Iblis kan kita anak cucunya
ini tetap di surga. Enggak kayak sekarang,
sudah tinggal di bumi, eh ditakdirkan
hidup di Negara terkorup, sudah begitu
jadi orang miskin pula. Emang seenak apa
sih rasanya buah itu, Gus?"
Gus Dur : "Ya tidak tahu lah, saya kan juga
belum pernah nyicip. Tapi ini sih bukan
soal rasa. Ini soal khasiatnya."
Santri : "Kayak obat kuat aja pake khasiat
segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa
sih, Gus? Kok Nabi Adam bisa sampai
tergoda?"
Gus Dur : "Iblis bilang, kalau makan buah
itu katanya bisa menjadikan Nabi Adam
abadi."
Santri : "Anti-aging gitu, Gus?"
Gus Dur : "Iya. Pokoknya kekal."
Santri : "Terus Nabi Adam percaya, Gus?
Sayang, iblis kok dipercaya."
Gus Dur : "Lho, Iblis itu kan seniornya
Nabi Adam."
Santri : "Maksudnya senior apa, Gus?"
Gusdur : "Iblis kan lebih dulu tinggal di
surga dari pada Nabi Adam dan Siti Hawa."
Santri : "Iblis tinggal di surga? Masak sih,
Gus?"
Gus Dur : "Iblis itu dulu nya juga penghuni
surga, terus di usir, lantas untuk menggoda
Nabi Adam, iblis menyelundup naik ke
surga lagi dengan berserupa ular dan
mengelabui merak sang burung surga, jadi
iblis bisa membisik dan menggoda Nabi
Adam."
Santri : "Oh iya, ya. Tapi, walau pun Iblis
yang bisikin, tetap saja Nabi Adam yang
salah. Gara- garanya, aku jadi miskin kayak
gini."
Gus Dur : "Kamu salah lagi, Kang. Manusia
itu tidak diciptakan untuk menjadi
penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah :
30. Sejak awal sebelum Nabi Adam lahir…
eh, sebelum Nabi Adam diciptakan, Tuhan
sudah berfirman ke para malaikat kalo Dia
mau menciptakan manusia yang menjadi
khalifah (wakil Tuhan) di bumi."
Santri : "Lah, tapi kan Nabi Adam dan Siti
Hawa tinggal di surga?"
Gus Dur : "Iya, sempat, tapi itu cuma
transit. Makan buah terlarang atau tidak,
cepat atau lambat, Nabi Adam pasti juga
akan diturunkan ke bumi untuk
menjalankan tugas dari-Nya, yaitu
memakmurkan bumi. Di surga itu masa
persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan
mengajari Nabi Adam bahasa, kasih tahu
semua nama benda. (lihat Al- Baqarah :
31).
Santri : "Jadi di surga itu cuma sekolah
gitu, Gus?"
Gus Dur : "Kurang lebihnya seperti itu.
Waktu di surga, Nabi Adam justru belum
jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah
beliau turun ke bumi."
Santri : "Aneh."
Gus Dur : "Kok aneh? Apanya yang aneh?"
Santri : "Ya aneh, menyandang tugas wakil
Tuhan kok setelah Nabi Adam gagal, setelah
tidak lulus ujian, termakan godaan Iblis?
Pendosa kok jadi wakil Tuhan."
Gus Dur : "Lho, justru itu intinya.
Kemuliaan manusia itu tidak diukur dari
apakah dia bersih dari kesalahan atau
tidak. Yang penting itu bukan melakukan
kesalahan atau tidak melakukannya. Tapi
bagaimana bereaksi terhadap kesalahan
yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah
keliru dan salah, Tuhan tahu itu. Tapi meski
demikian nyatanya Allah memilih Nabi
Adam, bukan malaikat."
Santri : "Jadi, tidak apa-apa kita bikin
kesalahan, gitu ya, Gus?"
Gus Dur : "Ya tidak seperti itu juga. Kita
tidak bisa minta orang untuk tidak
melakukan kesalahan. Kita cuma bisa minta
mereka untuk berusaha tidak melakukan
kesalahan. Namanya usaha, kadang
berhasil, kadang enggak."
Santri : "Lalu Nabi Adam berhasil atau
tidak, Gus?"
Gus Dur : "Dua-duanya."
Santri : "Kok dua-duanya?"
Gus Dur : "Nabi Adam dan Siti Hawa
melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi
mereka berdua kemudian menyesal dan
minta ampun. Penyesalan dan mau
mengakui kesalahan, serta menerima
konsekuensinya (dilempar dari surga),
adalah keberhasilan."
Santri : "Ya kalo cuma gitu semua orang
bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Gus."
Gus Dur : "Siapa bilang? Tentu saja
berguna dong. Karena menyesal, Nabi
Adam dan Siti Hawa dapat pertobatan dari
Tuhan dan dijadikan khalifah (lihat Al-
Baqarah: 37). Bandingkan dengan Iblis,
meski sama-sama diusir dari surga, tapi
karena tidak tobat, dia terkutuk sampe hari
kiamat."
Santri : "Ooh..."
Gus Dur : "Jadi intinya begitu lah.
Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang
tidak manusiawi, ya yang iblisi itu kalau
sudah salah tapi tidak mau mengakui
kesalahannya justru malah merasa bener
sendiri, sehingga menjadi sombong."
Santri : "Jadi kesalahan terbesar Iblis itu
apa, Gus? Tidak mengakui Tuhan?"
Gus Dur : "Iblis bukan atheis, dia justru
monotheis. Percaya Tuhan yang satu."
Santri : "Masa sih, Gus?"
Gus Dur : "Lho, kan dia pernah ketemu
Tuhan, pernah dialog segala kok."
Santri : "Terus, kesalahan terbesar dia
apa?"
Gus Dur : "Sombong, menyepelekan orang
lain dan memonopoli kebenaran."
Santri : "Wah, persis cucunya Nabi Adam
juga tuh."
Gus Dur : "Siapa? Ente?
Santri : "Bukan. Cucu Nabi Adam yang lain,
Gus. Mereka mengaku yang paling bener,
paling sunnah, paling ahli surga. Kalo ada
orang lain berbeda pendapat akan mereka
serang. Mereka tuduh kafir, ahli bid'ah,
ahli neraka. Orang lain disepelekan. Mereka
mau orang lain menghormati mereka, tapi
mereka tidak mau menghormati orang lain.
Kalau sudah marah nih, Gus. Orang-orang
ditonjokin, barang-barang orang lain
dirusak, mencuri kitab kitab para ulama.
Setelah itu mereka bilang kalau mereka
pejuang kebenaran. Bahkan ada yang
sampe ngebom segala loh."
Gus Dur : "Wah, persis Iblis tuh."
Santri : "Tapi mereka siap mati, Gus.
Karena kalo mereka mati nanti masuk surga
katanya."
Gus Dur : "Siap mati, tapi tidak siap
hidup."
Santri : "Bedanya apa, Gus?"
Gus Dur : "Orang yang tidak siap hidup itu
berarti tidak siap menjalankan agama."
Santri : "Lho, kok begitu?"
Gus Dur : "Nabi Adam dikasih agama oleh
Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (lihat
Al- Baqarah: 37). Bukan waktu di surga."
Santri : "Jadi, artinya, agama itu untuk
bekal hidup, bukan bekal mati?"
Gus Dur : "Pinter kamu, Kang!"
Santri : "Santrinya siapa dulu dong? Gus
Dur."

Sunber : @motivasiunik