Minggu, 05 Mei 2013

Bid'ah Menurut Jumhur Ulama Ahlussunah Wal Jama'ah


1. Imam Syafii
(Syaikhul Akbar Mutjahid Mutlaq [1]
Nashirussunah [2] Al Hakim Al Imam Asy
Syafi)
"Bid'ah terbagi menjadi bagian. Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar
(sesuatu yang dilakukan atau dikatakan
sahabat tanpa ada di antara mereka yang
mengingkarinya), perkara baru semacam
ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara
baru yang baru yang baik (hasanah) dan
tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah,
maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru
seperti ini tidak tercela"
(Riwayat Imam Baihaqi didalam Manaqib
Asy Syafii Juz 1 Halaman 469, Ibnu Hajar Al
Asqalaniy dalam Fath al-Bari bi Syarah
Shahih Bukhari 13/253, Sayyid Al-Bakri
Abu Bakar bin Muhammad Syatha'
Addimyatiy didalam I’anah At-Thalibin Ibn
`Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari,
hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam
“Siyar”, 8/408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-
`Ulum wal-Hikam, 2/52-53, ).
2. Imam Ibnu Abdilbarr
Al Hakim Al Muhaddits Al Imam Abu Umar
Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi,
seorang ulama besar faqih lagi hafidh yang
bermazhab maliki.
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik
bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab
adalah menciptakan dan memulai sesuatu
yang belum pernah ada. Maka apabila
bid’ah tersebut dalam agama menyalahi
sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah
yang tidak baik, wajib mencela dan
melarangnya, menyuruh menjauhinya dan
meninggalkan pelakunya apabila telah jelas
keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah
yang tidak menyalahi dasar syariat dan
sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-
Istidzkar, 5/152).
3. Imam Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu
Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi, Pakar
Hadits Besar, Rijalussanad Imam Syafii.
"Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala
sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi
dua, baik dan buruk.” Beliau melanjutkan:
“Para pemuka umat dan Imam kaum
muslimin yang ilmunya sudah diakui,
seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin
Abdissalam menyebut di akhir buku beliau,
al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi
pada perkara-perkara wajib (wajibat),
haram (muharramat), sunnah (mandubat),
makruh (makruhat) dan boleh (mubahat).
Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu
dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id
syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori
kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika
ia termasuk dalam keharaman maka jadilah
ia Haram, jika ia termasuk hal yang
mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia
disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk
maka jadilah ia makruh dan seterusnya.
Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.”
(Tahdzibul 'Asma wal Lughot 3/20-22)
Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah
(baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”.
(Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat 3/22),
4. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
Al Hujjatul Islam Amirul Mukminin fii Hadits
Ibn Hajar Al-‘Asqalani. hafizh dan faqih
bermadzhab Syafi’i.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang
dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah
diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga
bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila
bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu
yang dianggap baik menurut syara’, maka
disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam
naungan sesuatu yang dianggap buruk
menurut syara’, maka disebut bid’ah
mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak
masuk dalam naungan keduanya, maka
menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah
itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”
(Fathul Bari bi Syarah Shahihul Bukhari,
4/253).
5. Imam Ibnu Al Arabi
Al Hafidh Al Imam Ibnu Al Arabi Al Maliki
“Ketahuilah bahwa Bid‘ah (al-muhdatsah)
itu ada dua macam:
Pertama, setiap perkara baru yang
diadakan yang tidak memiliki landasan
agama, melainkan mengikut hawa nafsu
sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat.
Kedua, perkara baru yang diadakan namun
sejalan dengan apa yang sudah disepakati,
seperti yang dilakukan oleh para
Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar,
maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang
keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu
tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia
baru.
(Aridhat Al-Ahwadzi Syarah Jami’ Attirmidziy
10/146-147)
6. Imam Ghazali
Al Hujjatul Islam Al Imam Ghazali
"Hakikat bahwa ia adalah perkara baru
yang diadakan tidaklah menghalanginya
untuk dilakukan. Banyak sekali perkara
baru yang terpuji, seperti sembahyang
Terawih secara berjama’ah, ia adalah
“Bid‘ah” yang dilakukan oleh
Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang
sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah).
Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela,
ialah segala hal baru yang bertentangan
dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang
bisa merubah Sunnah itu.
(Ihya Ulumuddin 1/276)
7. Imam Al Aini
Al Hafidh Al-Imam Badruddin Mahmud bin
Ahmad Al-‘Aini,hafizh dan faqih
bermadzhab Hanafi
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan
sesuatu yang belum pernah ada pada masa
Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua
macam. Apabila masuk dalam naungan
sesuatu yang dianggap baik oleh syara’,
maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila
masuk di bawah naungan sesuatu yang
dianggap buruk oleh syara’, maka disebut
bid’ah tercela.”
(Umdatulqoriy Syarah al-Bukhari,
Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155 ).
8. Imam Ibnu Hazm. Ibnu Hazm Az Zahiri
Al Andalusi
“Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang
datang pada kita dan tidak disebutkan
didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah
SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya
memiliki nilai pahala, sebagaimana yang
diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA:
“Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk
pada semua amalan baik yang dinyatakan
oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara
umum, walaupun amalan tersebut tidak
ddijelaskan dalam nas secara khusus.
Namun, Di antara hal yang baru, ada yang
dicela dan tidak dibolehkan apabila ada
dalil-dalil yang melarangnya.
(Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Usulul Ahkam
1/47)
10. Imam Izzuddin Abdissalam
Al Hafidh Al Imam Izuddin Abdissalam
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang
tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima;
bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah
mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah
mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal
itu adalah dengan membandingkan bid’ah
pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah
itu masuk pada kaedah wajib, maka
menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk
pada kaedah haram, maka bid’ah
muharramah. Apabila masuk pada kaedah
sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila
masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah
mubahah.
Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh.
Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu
sebagai sarana memahami Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya
wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan
tidak mungkin dapat menjaganya tanpa
mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan
sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya
perkara wajib, maka hukumnya wajib.
Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil
untuk membedakan hadits yang shahih dan
yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak
contoh, di antaranya bid’ah ajaran orang-
orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan
Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap
bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya
wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh,
di antaranya mendirikan sekolah-sekolah
dan setiap kebaikan yang pernah dikenal
pada abad pertama, dan di antaranya
shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh,
di antaranya memperindah bangunan
masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh,
di antaranya menjamah makanan dan
minuman yang lezat-lezat, pakaian yang
indah, tempat tinggal yang mewah,
memakai baju kebesaran dan lain-lain.”
(Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam,
2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin
Abdissalam ini yang membagi bid’ah
menjadi lima bagian dianggap sebagai
pandangan yang final dan diikuti oleh
mayoritas ulama terkemuka dari kalangan
fuqaha dan ahli hadits.
11.Al Hafidh Imam Ibnu Atsir
Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari.
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda
(sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal
(sesat). Maka bid’ah yang menyalahi
perintah Allah dan Rasulullah, tergolong
bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah yang
berada di bawah naungan keumuman
perintah Allah dan dorongan Allah dan
Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji.
Sedangkan bid’ah yang belum pernah
memiliki kesamaan seperti semacam
kedermawanan dan berbuat kebajikan,
maka tergolong perbuatan yang terpuji dan
tidak mungkin hal tersebut menyalahi
syara’.”
(Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-
Atsar)
12. Al-Imam Al-Shan’ani.
Muhammad bin Ismail al-Amir al-Shan'ani,
seorang muhaddits dan faqih bermadzhab
Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima.
Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh
Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu
yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini
adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa
didahului pengakuan syara’ melalui Al-
Quran dan Sunnah. Dan ulama telah
membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1)
bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu
agama dengan membukukannya dan
menolak terhadap kelompok-kelompok
sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2)
bid’ah mandubah seperti membangun
madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah
seperti menjamah makanan yang
bermacam-macam dan baju yang indah, 4)
bid’ah muharramah dan 5) bid’ah
makruhah, dan keduanya sudah jelas
contoh-contohnya. Jadi hadits “semua
bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum
yang dibatasi jangkauannya.”
(Subulussalam 2/48).
13. Imam Suyuthi.
Al Muhaddis Al Hujjatul Islam Al Imam
Jalaluddin As Suyuthi
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini
bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu
yg umum yg ada pengecualiannya), seperti
firman Allah : “… yg Menghancurkan segala
sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan
kenyataannya tidak segalanya hancur,
(*atau pula ayat : “Sungguh telah
kupastikan ketentuanku untuk memenuhi
jahannam dengan jin dan manusia
keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan
pada kenyataannya bukan semua manusia
masuk neraka, tapi ayat itu bukan
bermakna keseluruhan tapi bermakna
seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen)
atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan
kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat
masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul
saw)
(Syarah Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
14. Syaikh Sajuddin Ibnul Mulaqqan
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu
yang tidak ada sebelumnya. Maka yang
menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah
dan yang sepakat dengan sunnah adalah
bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).
(At Tauzhih li Syarh Al Jami’i As Shahih, Al
Wazarah Al Auqaf wa Syu-un AlIslamiyah,
Qathar, Juz. 8 Hal. 554)
15. Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy
Al Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam
Ibnu Hajar Al Haitami
"Adapun yang tidak bertentangan dengan
agama, yakni yang didukung oleh dalil
syara’ atau qawaid syara’ maka tidak
tertolak pelakunya, bahkan amalannya
diterima"
beliau melanjutkan,
Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW
bersabda :
Barang siapa yang mengada-adakan
sesuatu (amalan) dalam urusan (agama)
kami yang bukan dari agama kami, maka
(amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [26]
dan Muslim [27])
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa
makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang
bukan dari agama kami) adalah sesuatu
yang bertentangan dengan agama atau
tidak didukung oleh qawaid agama atau
dalil-dalil agama yang bersifat umum.
Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau
berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan
agama, yakni yang didukung oleh dalil
syara’ atau qawaid syara’ maka tidak
tertolak pelakunya, bahkan amalannya
diterima”.
(Fathul Mubin, Al-‘Amirah As Syarfiah,
Mesir, Hal. 94)
16. Al Imam Al Munawi
Adapun yang ada azhidnya yakni didukung
oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak
tertolak bahkan amalannya diterima
misalnya membangun seperti organisasi
dan madrasah, mengarang ilmu
pengetahuan dan lain-lain.”
(Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’
Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333)
17. Syaikh Wahbah Azzuhaili (Pakar Ushul
Fiqih)
"Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk,
tidak terlepas dari bahwa adakala ia ada
dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya.
Jika ada dalil pada syara’, maka ia termasuk
dalam umum yang dianjurkan Allah dan
Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia
termasuk dalam katagori terpuji, meskipun
yang sama dengannya tidak pernah ada
sebelumnya seperti yang termasuk dalam
katagori kebaikan, dermawan dan
perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan
ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun
tidak ada yang melakukannya sebelumnya.
Didukung ini oleh perkataan Umar r.a.
“sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan
sebab ini termasuk dalam katagori
perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan
jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa
yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka
ia termasuk dalam katagori tercela dan
ingkar"
(Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I,
Hal. 290)
18. Syaikh Ahmad Shawiy
Syaikh Ahmad bin Muhammad Ash Shawiy
Al Maliki
Pada ayat di atas (Alhadid 27), Allah Ta’ala
memberikan pahala kepada orang-orang
beriman diantara mereka, yakni orang-
orang yang melakukan bid’ah dengan
melakukan rahbaniyah dan memeliharanya
dengan semestinya.
(Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV,
Hal. 177)
Kesimpulan :
Apa yang tersisa dari ilmu islam jika
pendapat mereka semua di ketepikan?
sementara sebagian dari mereka diliputi
ilmu yang luas, mereka hidup di mana
bumi masih di penuhi hadits.
Al Hafidh adalah gelar bagi ulama yang
telah berhasil menghapal 100.000 hadits
beserta sanad dan hukum matannya.
Al Hujjatul Islam adalah gelar bagi ulama
yang telah berhasil menghapal 300.000
hadits beserta sanad dan hukum
matannya.
Sedangkan dizaman sekarang jumlah
seluruh hadits jika di kumpulkan semuanya
tidak mencapai 80.000 hadits. Lalu dengan
dasar apa kita ingin menumbangkan
pendapat mereka?
Sementara siapakah yang lebih paham
tentang hadits nabi, kita atau mereka?
wallahu a'lam
-----------------------
[1] Mujtahid mutlak atau mujtahid mutlak
mustaqil adalah seorang ulama akbar lagi
agung yang luas pemahaman syariahnya
dari berbagai cabang ilmu dan keilmuannya
diakui oleh ribuan ulama, dalam hal ini
yang termasyhur adalah 4 orang, Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii,
Imam Ahmad bin Hambal
[2] Nashirussunah artinya pembela sunnah,
salah satu julukan Imam Asy Syafii
[3] Rijalussanad artinya ulama yang
memiliki sanad yang mutassil kepada
sohibul fatwa

dikutip dari FP Islamic motivation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar