Selasa, 19 Juni 2012

SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM: MADRASAH (Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat Dan Untuk Masyarakat)


MADRASAH
(Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat Dan Untuk Masyarakat)
OLEH : M. ANSHARI

A.    PENDAHULUAN

            Eksistensi madrasah di Indonesia sekarang ini, bila ditelusuri dari akar historis tumbuh dan berkembangnya, adalah dari, oleh dan untuk masyarakat Islam. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa sejak awal madrasah menampilkan diri sebagai pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Sebagai community based education, dengan sendirinya eksis tidaknya madrasah sangat ditentukan sejauh mana masyarakat berperan di dalamnya, baik dalam bentuk transformasi nilai-nilai sosio-kultural dan agama, swadaya, maupun swadana.  Bahasan ini cukup menarik untuk dituangkan dalam makalah seperti berikut.

            Dalam makalah ini akan diuraikan hal – hal yang berkaitan dengan Dinamika Madrasah terkait dengan peran masyarakat. Yakni  Apa pengertian Madrasah , Sejarah singkat dan asal usul Madrasah , serta bagaimana keadaan madrasah dikaitkan dengan peran masyarakat.

  1. Pengertian  Madrasah dan Masyarakat
  1. Pengertian Madrasah
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Madrasah adalah Sekolah atau perguruan yang biasanya  berdasarkan agama Islam.[1]
            Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".[2] Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitabTaurat’.[3]
            Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.[4]
            Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).[5]
            Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
            George Makdisi berpendapat bahwa terjemahan kata "madrasah" dapat disimpulkan dengan tiga perbedaan mendasar yaitu: Pertama, kata universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, Kedua; merujuk pada sebuah bangunan tempat kegiatan pendidikan setelah pendidikan dasar (pendidikan tinggi) berlangsung. Ketiga; izin mengajar (ijazah al-tadris, licentia docendi) pada madrasah diberikan oleh syaikh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan.[6]
            Erat kaitannya dengan penggunaan istilah '''madrasah" yang menunjuk pada lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian istilah "madrasah" juga mempunyai beberapa pengertian di antaranya: aliran, mazhab, kelompok atau golongan filosof dan ahli fikir atau penyelidik tertentu pada metode dan pemikiranyang sama. Munculnya pengertian ini seiring dengan perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang di antaranya menjadi lembaga yang menganut dan mengembangkan pandangan atau aliran dan mazdhab pemikiran (school of thought) tertentu. [7]
            Dalam undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah dikategorikan sebagai Sekolah Umum yang Berciri Islam.
2.      Pengertian Masyarakat.
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mayarakat adalah Sejumlah manusia dalam arti seluas luasnya yang terikat dengan kebudayaan yang mereka anggap sama.[8]
            Ralph Linton berpendapat : “Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[9]

            Hasan Shadily dalam bukunya “Sosiologi untuk masyarakat Indonesia” menyatakan bahwa : masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain.[10]
           
            Dari beberapa pengertian tentang masyarakat diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi, yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya keterikatan untuk mencapai tujuan bersama.

C.    Sejarah singkat dan Asal-usul Madrasah di Indonesia
           Madrasah merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam. Model Madrasah tidak sama dengan  mesjid atau lembaga pendidikan Islam lainya.  Madrasah merupakan perkembangan dari mesjid. Akibat besarnya semangat belajar umat Islam membuat mesjid-mesjid penuh dengan halaqah-halaqah. Dari tiap-tiap halaqah terdengar suara guru yang menjelaskan  pelajaran atau suara perdebatan  dalam proses belajar mengajar sehingga menimbulkan kebisingan  yang mengganggu orang beribadah.[11] Semakin banyak umat Islam yang  tertarik untuk menuntutilmu, sehingga membuat mesjid  penuh dan sesak untuk menampung murid-murid yang belajar  mendorong  lahirnya  bentuk pendidikan baru.
           Banyaknya murid-murid yang  yang datang dari luar kota  untuk belajar  di mesjid-mesjid, menuntut  pembangunan pemondokan semacam asrama  disamping mesid. Mereka yang datang dari jauh dan tidak punya cukup uang  untuk menyewa  penginapan dibei izin  tinggal  dikomplek tnpa dipngut biaya. Oleh karena itu dibangunlah  khan  sehingga berubahlah  bentk mesjid  menjadi mesjid-Khan.  Tahap berikutnya adalah perkembangna dari mesjid khan menjadi madrasah. Setiap madrasah biasanya memiliki pemondokan  untuk pelajar dan para guru. Lembaga ini juga dilengkapi dengan sebuah aula besar. [12]
            Membicarakan madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai pesantren sebagai cikal- bakalnya. Dengan kata lain, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Karena itu menjadi penting untuk mengamati proses historis sebagai mata rantai yang menghubungkan perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah di kemudian hari.
            Menurut Nurcholish Madjid, lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada itu. [13]
            Namun demikian dalam proses pengislaman itu tidak bisa dihindari terjadinya akomodasi dan adaptasi. Tegasnya, karena lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren itu di masa  Hindu-Budha lebih bernuansa mistik, maka ajaran Islam yang disampaikan di pesantren pun pada mulanya bercorak atau bernuansa mistik pula, yang dalam khasanah Islam lebih dikenal dengan sebutan tasawuf. Pada masa perkembangan Islam di Indonesia itu, tasawuf memang merupakan gejala umum dan sangat dominan di Dunia Islam pada umumnya. Karena penduduk Nusantara sebelum Islam memiliki kecenderungan yang kuat terhadap mistik, maka agama Islam yang disampaikan dengan pendekatan mistik atau tasawuf itu lebih mudah diterima dan dianut.[14]
            Maka di awal abad ke-20 M di Indonesia secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang pola pembelajaran Islam yang dikelola dengan sistem "madrasi" yang lebih modern, yang kemudian dikenal dengan nama "madrasah". Karena itu sejak awal kemunculannya, madrasah di Indonesia sudah mengadopsi sistem sekolah modern dengan ciri-ciri: digunakannya sistem kelas, pengelompokkan pelajaran-pelajaran, penggunaan bangku, dan dimasukkannya pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulumnya.[15]

            Lalu apa pula bedanya madrasah dengan sekolah kalau madrasah juga memasukkan pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah ke dalam kurikulumnya, serta apa pula bedanya madrasah dan pesantren kalau sama-sama lembaga pendidikan Islam?

            Sebagaimana telah dikemukakan, secara harfiah madrasah bisa diartikan dengan sekolah, karena secara teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian Karel Steenbrink membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda.[16] Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat. Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan  tujuan antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan,[17] sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen,[18] di samping untuk mencegah memudarnya semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda itu. Sekolah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial,[19] dengan maksud untuk melestarikan penjajahan.[20]
            Dalam lembaga pendidikan yang didirikan Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali. Karena itu tidak heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika itu muncul resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk "membelandakan" anak-anak mereka.[21]
            Pesantren memiliki tujuan yang lain lagi. Menurut Mahmud Junus, Djumhur, dan Steenbrink, pesantren didirikan untuk menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah.[22] Pesantren merupakan upaya kalangan pribumi untuk mengembangkan system pendidikan sendiri yang sesuai dengan tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis

            Namun, meskipun pesantren berperan lebih dahulu dalam membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan dengan madrasah, para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini mengandung banyak kelemahan, sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan. Madrasah yang, seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.
Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia[23]

            Tim penyusun dari Departemen Agama RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama kali didirikan adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera barat) yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya Adabiyah School. Pada tahun 1915 diubah menjadi HIS Adabiyah. Pada tahun 1910 di Padang juga didrikan sekolah agama dengan nama Madrasah School, yang pada tahun 1923 menjadi Diniyah School. Madrasah ini didirikan dengan harapan dapat mencetak ahli agama yang mampu berkomunikasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan umum dan mengurangi perbedaan antara lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan sekuler bentukan penjajah. Perkembangan madrasah cukup menggembirakan karena hampir semua organisasi keagamaan Islam mendirikan madrasah.

            Pada tahun 1951 Kementerian mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Tiga menteri, yaitu Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah. Melalui SKB ini diharapkan madrasah memperoleh posisi yang sama dengan sekolah-sekolah umum. Pada tahun 1984, keluar surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah[24]      Tahun 2003 Pemerintah menetapkan posisi madrasah dalam satu kerangka sistem penyelenggaraan pendidikan yang sejajar dan sederajat dengan sekolah umum sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[25]

  1. Madrasah dari Masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

            Madrasah pada mulanya tumbuh dan berkembang atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli, terutama para ulama yang membawa gagasan pembaharuan pendidikan, setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana pembangunan dan pendidikannya pun berasal dari swadaya masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka masyarakat sendiri diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan.

            Sebagai lembaga pendidikan swadaya, madrasah menampung aspirasi sosial-budaya-agama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di pedesaan itu menjadi petunjuk bahwa masyarakat Indonesia ternyata memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap pendidikan putra-putri mereka.  Dari sudut pandang lain, hal itu juga berarti ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan. Dalam hal ini  dari lebih kurang 36.000 jumlah madrasah yang ada (yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), 96 persen di antaranya  dikelola oleh masyarakat secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang mengkhususkan diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah diniyah yang dikelola masyarakat, jumlahnya telah mencapai 22.000.[26]

            Dalam hal Pembanguan dan pengelolaan madrasah oleh masyarakat caranyapun cukup unik. Dibanyak tempat untuk membangun dan mengelola (dalam hal penyediaan dana khususnya) dilakukan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat secara suka rela. Baik melalui wakaf, infaq, hibah melalui malam amal, hingga mengumpulkan sumbangan rutin dari donatur tetap. Semuanya dilandasi dengan motif keagamaan yakni pengharapan pahala jariyah. Masuk kedalam ranah kurikulum, di madrasah selain menggunakan kurikulum konvensional juga menyisipkan kurikulum “pesanan”  tergantung keperluan di masyarakat. Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya.
Dalam hal tenaga kependidikan, di madrasah tidak terlalu muluk dengan kriteria dan standararisasi tenaga pendidik. Cukup dengan kepercayaan dari masyarakat bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk mengajar, maka orang tersebutpun akan direkrut. Kebanyakan juga alumni dari madrasah tersebut. Yang juga menarik bahwa tenaga pengajar di madrasah dilandasi oleh pengabdian dan motif religius. Dan sering juga dibeberapa tempat hanya dibayar dengan padi tiap 1 tahun sekali. Dalam hal tujuan dari  lulusan madrasah, juga disesuaikan dengan keperluan di masyarakat.

            Sejalan dengan berbagai perkembangan dan perubahan paradigma dunia pendidikan saat ini, madrasahpun mengalami berbagai perubahan. Banyak faktor yang menyebabkannya. Keadaan sosial ekonomi masyarakat, pandangan keagamaan, motif sekulerisme, serta globalisasi, serta peran positif pemerintah disatu sisi menyebabkan dampak positif bagi madrasah yakni keberlangsungan madrasah semakin terjamin namun juga berdampak negatif yaitu perhatian masyarakat agak berkurang kepada madrasah, sehingga madrasah tergantung dengan bantuan pemerintah, oleh karena itu akhir-akhir ini kembali peran masyarakat tersebut digali melalui konsep Manajemen Berbasis Madrasah, dengan berbagai konsep tersebut Ketergantungan masyarakat madrasah terhadap pemerintah diharapkan berkurang , mengingat mayoritas madrasah memang milik masyarakat. Partisipasi masyarakat yang menjadi kekuatan madrasah selama ini harus menjadi prioritas untuk dibangun dan dikembangkan kembali.

            Madrasah juga tidak sekedar meramaikan pentas dunia pendidikan. Namun juga diharapkan menjadi pioner dengan berbagai konsep madrasah unggulan, Madrasah program khusus, dan sebaginya.

  1. Simpulan
1.      Madrasah pada awalnya merupakan lembaga pendidikan yang semua konsep berada ditangan masyarakat
2.      Konsep manajemen berbasis Sekolah pada dasarnya mengadopsi karakteristik madrasah yang berbasis masyarakat.
3.      Madrasah dengan kesederhanaan, tumbuh kembang bersama masyarakat harus mampu berkintribusi lebih terhadap dunia pendidikan sehingga orang akan beranggapan bahwa  menyekolahkan anak di madrasah merupakan pilihan yang sangat rasional karena selain mendapatkan ilmu agama juga mendapatkan ilmu yag bersifat umum.




                                                  
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998),
Abu Luwis al-Yasu'i, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-Munjid Fi al-A'lam, Cet.-23, Dar al-Masyriq, Beirut, tt,

Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terjemahan oleh Muchtar Jahja dan Sanusi  Latief, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973)

Ahmad Baedowi, Madrasah, http://kickandy.com/friend/diposting 12 April 2010

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985)

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,( Jakarta : Logos, tt)

Azyumardi Azra, "Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan", Kata Pengantar untuk buku Nurcholish Madjid, tt
Hanun Asrorah , M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999)
Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta : Bina Aksara, 1983)

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),

Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Edisi Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti: 1996)

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan( Jakarta: Paramadina, 1997

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999 )
Tadjab, Perbandingan Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994 cet ke I )
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3, (Jakarta, Balai Pustaka, 2007),


            [1] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3, (Jakarta, Balai Pustaka, 2007), h.694. Pada halaman yang sama Kata Madrasah juga diidentikkan dengan “Madarsah

            [2] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Edisi Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti: 1996),h. 66
            [3] Abu Luwis al-Yasu'I, al-Munjid Fi al-LughahWa al-Munjid Fi al-A'lam, Cet.-23, Dar al-Masyriq, Beirut, tt, h. 221, yang dikutip oleh Tim Pendais Depag.

[4] H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998),h. 1 l l
[5] Ibid, h.112
            [6] Tim Pendis Depag, Sejarah Madrasah, dikutip dari : George Makdisi, The Rise of collages:Institutions of learning in Islam and the west, Edinburh University Press, 1981, http://.pendis.depag.go.id/madrasah/ebook/00003/Bab_2/pdf. Lihat juga makalah madrasah dalam http://makalah-adnan.blogspot.com/2008
            [7] Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos, hal. 117-11
                [8] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit h. 721
                [9] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.25

            [10] Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta : Bina Aksara, 1983), 47
            [11] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terjemahan oleh Muchtar Jahja dan Sanusi  Latief, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, h.106
[12] George Makdisi, The Rise of collages:Institutions of learning in Islam and the west, Edinburh University Press, 1981, hal. 27-28. Seperti dikutip oleh Hanun Asrorah , M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999, hal. 100
            [13]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan( Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 3.
            [14] Ibid, hal.23
            [15] Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999)h.193
            [16] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern Jakarta: LP3ES, 1986).h,_
            [17] Hanun Asrohah, op,cit., h. 192-193
            [18] Azyumardi Azra, "Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan", Kata Pengantar untuk buku Nurcholish Madjid, op. cit., h. 14
            [19] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985), h.47
            [20] Ibid., h. 49
            [21] Azyumardi Azra, op. cit., h. 12
            [22] Untuk lebih jelas mengenai uraian mereka, lihat beberapa aspek pemikiran mereka tentang Pendidikan Islam dalam beberapa bukunya antara lain, Karel A,.Steenbrink, Pesantren,..., op. cit.; Jumhur, Sejarah Pendidikan Indonesia; dan Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
            [23] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), cet. 1, h. 160
            [24] Tadjab, Perbandingan Pendidikan, Surabaya: Karya Abditama, 1994 cet ke I , hal. .55
            [25] Ahmad Baedowi, Madrasah, http://kickandy.com/friend/diposting 12 April 2010
            [26] H.A. Malik Fadjar, op. cit., h. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar