MADRASAH
(Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat Dan Untuk Masyarakat)
OLEH : M.
ANSHARI
A.
PENDAHULUAN
Eksistensi
madrasah di Indonesia sekarang ini, bila ditelusuri dari akar historis tumbuh
dan berkembangnya, adalah dari, oleh dan untuk masyarakat Islam. Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa sejak awal madrasah menampilkan diri sebagai
pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Sebagai community
based education, dengan sendirinya eksis tidaknya madrasah sangat
ditentukan sejauh mana masyarakat berperan di dalamnya, baik dalam bentuk
transformasi nilai-nilai sosio-kultural dan agama, swadaya, maupun swadana. Bahasan ini cukup menarik untuk dituangkan
dalam makalah seperti berikut.
Dalam makalah ini
akan diuraikan hal – hal yang berkaitan dengan Dinamika Madrasah terkait dengan
peran masyarakat. Yakni Apa pengertian Madrasah , Sejarah singkat dan
asal usul Madrasah , serta bagaimana keadaan madrasah dikaitkan dengan peran
masyarakat.
- Pengertian Madrasah dan Masyarakat
- Pengertian
Madrasah
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Madrasah adalah Sekolah atau perguruan yang
biasanya berdasarkan agama Islam.[1]
Kata
"madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata
"keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa".
Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat
belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".[2]
Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras"
yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat
belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai
"rumah untuk mempelajari kitabTaurat’.[3]
Kata
"madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari
akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca
dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa
tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama:
"tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata
"madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada
mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa
Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.[4]
Sungguhpun
secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah
tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak
lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik
lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik
memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam
hal ini agama Islam).[5]
Dalam
prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu
keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang
diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan
diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah.
Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan
tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih
memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni
"tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan
pelajaran agama dan keagamaan".
George
Makdisi berpendapat bahwa terjemahan kata "madrasah" dapat
disimpulkan dengan tiga perbedaan mendasar yaitu: Pertama, kata
universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau
sekelompok sarjana dan mahasiswa, Kedua; merujuk pada sebuah bangunan
tempat kegiatan pendidikan setelah pendidikan dasar (pendidikan tinggi)
berlangsung. Ketiga; izin mengajar (ijazah al-tadris, licentia
docendi) pada madrasah diberikan oleh syaikh secara personal
tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan.[6]
Erat
kaitannya dengan penggunaan istilah '''madrasah" yang menunjuk pada
lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian istilah "madrasah"
juga mempunyai beberapa pengertian di antaranya: aliran, mazhab, kelompok
atau golongan filosof dan ahli fikir atau penyelidik tertentu pada metode dan
pemikiranyang sama. Munculnya pengertian ini seiring dengan perkembangan madrasah
sebagai lembaga pendidikan yang di antaranya menjadi lembaga yang menganut
dan mengembangkan pandangan atau aliran dan mazdhab pemikiran (school of
thought) tertentu. [7]
Dalam
undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah
dikategorikan sebagai Sekolah Umum yang Berciri Islam.
2. Pengertian
Masyarakat.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia mayarakat adalah Sejumlah manusia dalam arti seluas
luasnya yang terikat dengan kebudayaan yang mereka anggap sama.[8]
Ralph
Linton berpendapat : “Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah
hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka
dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas
yang dirumuskan dengan jelas.[9]
Hasan
Shadily dalam bukunya “Sosiologi untuk masyarakat Indonesia” menyatakan bahwa : masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang
dengan atau karena sendirinya
bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain.[10]
Dari
beberapa pengertian tentang
masyarakat diatas, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi, yang memiliki prasarana untuk
kegiatan tersebut dan
adanya keterikatan untuk mencapai tujuan bersama.
C.
Sejarah singkat
dan Asal-usul Madrasah di Indonesia
Madrasah merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan
Islam. Model Madrasah tidak sama dengan
mesjid atau lembaga pendidikan Islam lainya. Madrasah merupakan perkembangan dari mesjid.
Akibat besarnya semangat belajar umat Islam membuat mesjid-mesjid penuh dengan
halaqah-halaqah. Dari tiap-tiap halaqah terdengar suara guru yang
menjelaskan pelajaran atau suara
perdebatan dalam proses belajar mengajar
sehingga menimbulkan kebisingan yang
mengganggu orang beribadah.[11]
Semakin banyak umat Islam yang
tertarik untuk menuntutilmu, sehingga membuat mesjid penuh dan sesak untuk menampung murid-murid
yang belajar mendorong lahirnya
bentuk pendidikan baru.
Banyaknya murid-murid yang
yang datang dari luar kota untuk
belajar di mesjid-mesjid, menuntut pembangunan pemondokan semacam asrama disamping mesid. Mereka yang datang dari jauh
dan tidak punya cukup uang untuk
menyewa penginapan dibei izin tinggal
dikomplek tnpa dipngut biaya. Oleh karena itu dibangunlah khan sehingga berubahlah bentk mesjid
menjadi mesjid-Khan. Tahap berikutnya adalah perkembangna dari
mesjid khan menjadi madrasah. Setiap madrasah biasanya memiliki pemondokan untuk pelajar dan para guru. Lembaga ini juga
dilengkapi dengan sebuah aula besar. [12]
Membicarakan
madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya lembaga-lembaga
pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan
mengenai pesantren sebagai cikal- bakalnya. Dengan
kata lain, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren.
Karena itu menjadi penting untuk mengamati proses historis sebagai mata rantai
yang menghubungkan perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah
di kemudian hari.
Menurut Nurcholish Madjid, lembaga
pendidikan yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa
kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan
lembaga pendidikan yang sudah ada itu. [13]
Namun demikian dalam proses
pengislaman itu tidak bisa dihindari terjadinya akomodasi dan adaptasi.
Tegasnya, karena lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren itu di masa Hindu-Budha lebih bernuansa mistik, maka
ajaran Islam yang disampaikan di pesantren pun pada mulanya bercorak atau
bernuansa mistik pula, yang dalam khasanah Islam lebih dikenal dengan sebutan
tasawuf. Pada masa perkembangan Islam di Indonesia itu, tasawuf memang
merupakan gejala umum dan sangat dominan di Dunia Islam pada umumnya. Karena
penduduk Nusantara sebelum Islam memiliki kecenderungan yang kuat terhadap
mistik, maka agama Islam yang disampaikan dengan pendekatan mistik atau tasawuf
itu lebih mudah diterima dan dianut.[14]
Maka di awal abad ke-20 M di
Indonesia secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang pola pembelajaran Islam
yang dikelola dengan sistem "madrasi" yang lebih modern, yang
kemudian dikenal dengan nama "madrasah". Karena itu sejak awal
kemunculannya, madrasah di Indonesia sudah mengadopsi sistem sekolah
modern dengan ciri-ciri: digunakannya sistem kelas, pengelompokkan
pelajaran-pelajaran, penggunaan bangku, dan dimasukkannya pengetahuan umum
sebagai bagian dari kurikulumnya.[15]
Lalu
apa pula bedanya madrasah dengan sekolah kalau madrasah juga
memasukkan pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah ke dalam kurikulumnya,
serta apa pula bedanya madrasah dan pesantren kalau sama-sama lembaga
pendidikan Islam?
Sebagaimana telah dikemukakan,
secara harfiah madrasah bisa diartikan dengan sekolah, karena secara
teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya
proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian Karel Steenbrink
membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya mempunyai
karakteristik atau ciri khas yang berbeda.[16]
Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang
berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana
yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu
sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah
merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh
iklim pencerahan Barat. Perbedaan karakter antara madrasah dengan
sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan tujuan
antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika
untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan
nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan,[17]
sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen,[18]
di samping untuk mencegah memudarnya semangat keagamaan penduduk akibat
meluasnya lembaga pendidikan Belanda itu. Sekolah untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar dasawarsa 1870-an bertujuan
untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial,[19]
dengan maksud untuk melestarikan penjajahan.[20]
Dalam lembaga pendidikan yang
didirikan Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali.
Karena itu tidak heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika
itu muncul resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai
bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk
"membelandakan" anak-anak mereka.[21]
Pesantren memiliki tujuan yang lain
lagi. Menurut Mahmud Junus, Djumhur, dan Steenbrink, pesantren didirikan untuk
menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah.[22]
Pesantren merupakan upaya kalangan pribumi untuk mengembangkan system pendidikan
sendiri yang sesuai dengan tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi
diri dari pengaruh sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik
balas budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis
Namun, meskipun pesantren berperan
lebih dahulu dalam membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan dengan
madrasah, para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya
mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini
mengandung banyak kelemahan, sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan. Madrasah
yang, seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem
pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan
hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.
Lembaga
pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu
institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia[23]
Tim penyusun
dari Departemen Agama RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama kali didirikan
adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera barat) yang didirikan oleh Syekh
Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya Adabiyah School. Pada tahun 1915 diubah
menjadi HIS Adabiyah.
Pada tahun 1910 di Padang juga didrikan sekolah agama dengan nama Madrasah School, yang pada tahun 1923 menjadi
Diniyah School. Madrasah ini didirikan dengan harapan dapat mencetak ahli
agama yang mampu berkomunikasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan umum dan mengurangi
perbedaan antara lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan sekuler
bentukan penjajah. Perkembangan madrasah cukup menggembirakan karena
hampir semua organisasi
keagamaan Islam mendirikan madrasah.
Pada
tahun 1951 Kementerian
mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Tiga menteri, yaitu Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Dalam Negeri, dan Menteri
Agama tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah. Melalui SKB ini diharapkan madrasah memperoleh
posisi yang sama dengan sekolah-sekolah
umum. Pada
tahun 1984, keluar surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama
tentang Pengaturan Pembakuan
Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah[24] Tahun 2003 Pemerintah menetapkan posisi madrasah dalam
satu kerangka sistem penyelenggaraan pendidikan yang sejajar dan sederajat
dengan sekolah umum sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.[25]
- Madrasah
dari Masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Madrasah
pada mulanya tumbuh dan berkembang atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli,
terutama para ulama yang membawa gagasan pembaharuan pendidikan, setelah mereka
kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana pembangunan dan pendidikannya pun
berasal dari swadaya masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat,
maka masyarakat sendiri diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan
anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan.
Sebagai
lembaga pendidikan swadaya, madrasah menampung aspirasi sosial-budaya-agama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan.
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di
pedesaan itu menjadi petunjuk bahwa masyarakat Indonesia ternyata memiliki komitmen yang sangat tinggi
terhadap pendidikan putra-putri mereka. Dari sudut
pandang lain, hal itu juga berarti ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan. Dalam hal ini dari lebih kurang 36.000
jumlah madrasah yang ada (yang
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), 96 persen di antaranya dikelola
oleh masyarakat secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang
mengkhususkan diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah diniyah yang dikelola masyarakat, jumlahnya telah mencapai
22.000.[26]
Dalam
hal Pembanguan dan pengelolaan madrasah oleh masyarakat caranyapun cukup unik.
Dibanyak tempat untuk membangun dan mengelola (dalam hal penyediaan dana
khususnya) dilakukan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat secara suka rela.
Baik melalui wakaf, infaq, hibah melalui malam amal, hingga mengumpulkan
sumbangan rutin dari donatur tetap. Semuanya dilandasi dengan motif keagamaan
yakni pengharapan pahala jariyah. Masuk kedalam ranah kurikulum, di madrasah
selain menggunakan kurikulum konvensional juga menyisipkan kurikulum
“pesanan” tergantung keperluan di
masyarakat. Madrasah memiliki
kurikulum, metode dan cara
mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di
sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya.
Dalam hal tenaga kependidikan, di madrasah tidak terlalu
muluk dengan kriteria dan standararisasi tenaga pendidik. Cukup dengan
kepercayaan dari masyarakat bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk
mengajar, maka orang tersebutpun akan direkrut. Kebanyakan juga alumni dari
madrasah tersebut. Yang juga menarik bahwa tenaga pengajar di madrasah
dilandasi oleh pengabdian dan motif religius. Dan sering juga dibeberapa tempat
hanya dibayar dengan padi tiap 1 tahun sekali. Dalam hal tujuan dari lulusan madrasah, juga disesuaikan dengan
keperluan di masyarakat.
Sejalan dengan berbagai perkembangan dan perubahan
paradigma dunia pendidikan saat ini, madrasahpun mengalami berbagai perubahan.
Banyak faktor yang menyebabkannya. Keadaan sosial ekonomi masyarakat, pandangan
keagamaan, motif sekulerisme, serta globalisasi, serta peran positif pemerintah
disatu sisi menyebabkan dampak positif bagi madrasah yakni keberlangsungan madrasah
semakin terjamin namun juga berdampak negatif yaitu perhatian masyarakat agak
berkurang kepada madrasah, sehingga madrasah tergantung dengan bantuan
pemerintah, oleh karena itu akhir-akhir ini kembali peran masyarakat tersebut
digali melalui konsep Manajemen Berbasis Madrasah, dengan
berbagai konsep tersebut Ketergantungan masyarakat madrasah terhadap pemerintah
diharapkan berkurang , mengingat mayoritas madrasah memang milik masyarakat. Partisipasi masyarakat
yang menjadi kekuatan madrasah selama ini harus menjadi prioritas untuk
dibangun dan dikembangkan kembali.
Madrasah
juga tidak sekedar meramaikan pentas dunia pendidikan. Namun juga diharapkan menjadi
pioner dengan berbagai konsep madrasah unggulan, Madrasah program khusus, dan
sebaginya.
- Simpulan
1.
Madrasah pada awalnya merupakan
lembaga pendidikan yang semua konsep berada ditangan masyarakat
2.
Konsep manajemen berbasis Sekolah
pada dasarnya mengadopsi karakteristik madrasah yang berbasis masyarakat.
3.
Madrasah dengan kesederhanaan,
tumbuh kembang bersama masyarakat harus mampu berkintribusi lebih terhadap
dunia pendidikan sehingga orang akan beranggapan bahwa menyekolahkan anak di madrasah merupakan
pilihan yang sangat rasional karena selain mendapatkan ilmu agama juga
mendapatkan ilmu yag bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, Visi
Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998),
Abu Luwis
al-Yasu'i, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-Munjid Fi al-A'lam, Cet.-23, Dar
al-Masyriq, Beirut, tt,
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan
Islam, terjemahan oleh Muchtar Jahja dan Sanusi Latief, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973)
Ahmad Baedowi, Madrasah, http://kickandy.com/friend/diposting
12 April 2010
Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium
Baru,( Jakarta : Logos, tt)
Azyumardi Azra, "Pesantren:
Kontinuitas dan Perubahan", Kata Pengantar untuk buku Nurcholish
Madjid, tt
Hanun Asrorah , M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta :
Logos, 1999)
Hasan
Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta : Bina Aksara,
1983)
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam
Di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual
Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Edisi
Indonesia
(Surabaya: Risalah Gusti: 1996)
Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan( Jakarta:
Paramadina, 1997
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 1999 )
Tadjab, Perbandingan
Pendidikan, (Surabaya:
Karya Abditama, 1994 cet ke I )
Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi ke-3, (Jakarta, Balai Pustaka, 2007),
[1] Tim Penyusun, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi ke-3, (Jakarta, Balai Pustaka, 2007), h.694. Pada halaman yang sama Kata Madrasah juga diidentikkan dengan “Madarsah”
[3]
Abu Luwis al-Yasu'I, al-Munjid Fi al-LughahWa al-Munjid Fi al-A'lam, Cet.-23,
Dar al-Masyriq, Beirut, tt, h. 221, yang dikutip oleh Tim Pendais Depag.
[6] Tim Pendis Depag, Sejarah
Madrasah, dikutip dari : George Makdisi, The
Rise of collages:Institutions of learning in Islam and the west, Edinburh
University Press, 1981, http://.pendis.depag.go.id/madrasah/ebook/00003/Bab_2/pdf.
Lihat juga makalah madrasah dalam http://makalah-adnan.blogspot.com/2008
[12] George Makdisi, The Rise of collages:Institutions of
learning in Islam and the west, Edinburh University Press, 1981, hal.
27-28. Seperti dikutip oleh Hanun Asrorah , M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999, hal. 100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar