Selasa, 19 Juni 2012

PARADIGMA PENGEMBANGAN KURIKULUM : Dalam perspektif Sentralisasi dan Desentralisasi


PARADIGMA PENGEMBANGAN KURIKULUM
Dalam perspektif Sentralisasi dan Desentralisasi
OLEH : M. ANSHARI
A.    PENDAHULUAN
                        Indonesia adalah Negara besar yang berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan. Setelah merdeka, bebas dari penjajahan, pembangunan Indonesia dimulai melalui tiga periode : 1956-1965 di bawah pemerintahan presiden Soekarno, 1967-1997 di bawah pemerintahan orde baru Suharto, dan periode reformasi sekarang yang belum jelas hasil-hasil pembangunannya. Dari sinilah muncul berbagai ide untuk lebih memaksimalkan pembangunan bangsa yang adil dan merata.
                        Daerah-daerah mulai berani menuntut haknya, yakni otonomi daerah. Mereka melihat bahwa sitem sentralistik yang yang selama ini dijalankan tidak berhasil membawa Indonesia kearah yang lebih baik. Pembangunan lebih banyak di pusat atau daerah tertentu sedangkan daerah penghasil devisa besar justru terbelakang.
                        Berbagai desakan dilakukan oleh daerah termasuk mengancam keluar dari NKRI jika tuntutan mereka tidak dipenuhi., Akhirnya UU otonomi daerah oleh pemerintah dan DPR disepakati untuk disyahkan maka pada tahun 1999 yaitu UU No 22/1999. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka wewenang untuk mengurus daerah sendiri mulai dirancang oleh masing-masing daerah.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, persoalan demi persoalan mulai muncul. Isu sumber daya manusia yang sangat minim menjadi penyebab utama. Demikian halnya dengan persoalan pendidikan yang mana turut menjadi wewenang daerah menjadi pro-kontra di masyarakat. Pengelolaan pendidikan yang baik akan menghasilkan Indonesia yang baru. Desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Melalui pendidkan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang kritis dan bertanggung jawab.  Dan lebih khusus juga peran untuk mengembangkan kurikum pun konsekuensinya harus diserahkan ke daerah. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengembangan kurikulum ditinjau dari aspek  sentralisasi pendidikan dan desentralisasi pendidikan.
  1. Konsep Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
1.      Sentralisasi pendidikan
                  Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.[1]
                  Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, seba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bagi kehidupan anak dan lingkungannya. Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang mempprihatinkan seperti :
a.       Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
b.      Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
c.       Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
d.      Melemahnya kebudayaan daerah
e.       Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan[2]
2.      Desentralisasi Pendidikan
                  Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia[3]
                  Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan ke pemerintah daerah otonom dilakukan dalam berbagai bidang atau urusan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, yang masih menjadi urusan pemerintah pusat. Berdasarkan pasal 14 Undang-undang No. 33 Tahun 2004 terdapat 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagai urusan yang berskala kabupaten/kota. Salah satu urusan wajib tersebut adalah  penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang didesentralisasi, atau yang oleh pemerintah pusat dilimpahkan wewenang penanganannya kepada pemerintah daerah[4]
                  Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan[5]
                  Desentralisasi pendidikan di Indonesia merupakan peluang bagi peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, ia merupakan peluang bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini karena perhatian terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen kepala sekolah, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan menjadi lebih baik jika dikelola oleh para pejabat pendidikan yang ada di daerah. Pada akhirnya, tujuan desentralisasi pendidikan adalah pada pemerataan mutu pendidikan yang meningkat ini. Kebijakan desentralisasi pendidikan untuk mencapai harapan seperti di atas didukung oleh berbagai potensi baik berupa keputusan politik di tingkat pusat maupun daerah, gagasan-gagasan pendidikan yang inovatif, maupun kondisi nyata di daerah. Keputusan politik yang sangat mendukung adalah dicantumkannya ketentuan dalam UUD 1945 tentang anggaran minimal pendidikan sebesar 20%. Amanat konstitusional ini bukan hanya menjadi kewajiban bagi pemerintah pusat untuk memenuhinya, tetapi juga mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan yang cukup tinggi pula bagi pembangunan pendidikan di daerahnya.[6]


Desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a.       Manajemen berbasis lokasi
b.       Pendelegasian wewenang
c.       Inovasi dan pengembangan  kurikulum[7]
  1. Pengembangan Kurikulum Dalam Perspektif Sentralisasi dan Desentralisasi
            Jika di kaitkan dengan konteks Pengembangan kurikulum, maka tak dapat dipisahkan dengan Sentralisasi dan desentralisasi  pendidikan.
            Pada Era Sentralisasi Kurikulum diberlakukan secara Nasional. Pengembangannya hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang terkadang hanya menilik salah satu bagian dari wilayah Indonesia. Kurikulum inilah yang menjadi acuan tunggal dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini di pukul rata berlaku untuk semua lembaga pendidikan. Baik yang ada di pesisir pantai, di ujung gunung, pelosok pedesaan maupun yang berada di kota besar.
            Dalam sejarah perkurikuluman di Indonesia. Dunia pendidikan kita telah ”melahirkan“ beberapa kurikulum. Pada masa orde lama, di kenal kurikulum 1947, 1952 dan 1964. Selanjutnya pada masa orde baru terdapat kurikulum 1975. Kemudian disempurnakan menjadi Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kemudian disempurnakan lagi menjadi kurikulum 1994.[8]
            Pada awalnya sistem sentralisasi kurikulum dimaksudkan untuk membantu standardisasi mutu pendidikan secara nasional. Paling tidak akan ada semacam standar minimal bagi semua sekolah di Indonesia, apalagi sistem sentralisasi itu juga mencakup aspek evaluasinya, yang dulu  kita kenal dengan sebutan evaluasi belajar tahap akhir nasional alias ebtanas. Sistem sentralisasi juga dapat memacu sekolah-sekolah yang kurang bermutu untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya, sedangkan bagi sekolah yang sudah baik dapat menambah sendiri dengan melakukan berbagai pengayaan sehingga jadi lebih bermutu. Namun, dihadapkan pada situasi daerah di Indonesia yang memiliki jurang perbedaan yang begitu besar tadi, muncul keraguan: jangan-jangan penerapan kurikulum yang masih sentralistik itu justru akan jadi bumerang bagi dunia pendidikan di negeri ini.
            Bukan itu saja. Kurikulum sentralistik itu juga kerap memuat bermacam-macam mata pelajaran atau materi yang sesungguhnya tidak sesuai kebutuhan dan keadaan daerah sehingga hanya menyulitkan peserta didik. Karena kebutuhan daerah berlainan, sebenarnya mereka harus diberi tempat untuk memilih dan mengembangkan isi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan daerah bersangkutan. Disini guru tidak mempunyai peranan dalam perancangan, dan evaluasi yang bersifat makro, mereka berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim khusus, guru menyusun kurikulum dalam jangka waktu 1 tahun, atau 1 semester. Menjadi tugas guru untuk menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat memilih dan menyusun bahan pelajaran sesuai kebutuhan, minat dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media mengajar yang bervariasi, kurikulum yang tersusun sistematis dan rinci diharapkan akan memudahka guru dalam implementasinya.[9]
            Seiring dengan era  reformasi Pengembangan kurikulum merupakan tuntutan desentralisasi pendidikan sebagaimana tertuang dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang menegaskan adanya kewenangan daerah propensi, kabupaten, dan kota untuk “mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat” [10]
Pada era ini muncul  kurikulum 2004. Yang ini akrab disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dalam perkembanganya terjadi perubahan pada pola standar isi dan standar kompetensi. Inilah yang selanjutnya melahirkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
            Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas sudah diatur bahwa pelaksanaan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan harus dilakukan di daerah. Oleh karena itu pengembangan kurikulum sebagai salah satu substansi utama dalam pengembangan pendidikan perlu di desentralisasikan, terutama kebutuhan siswa, keadaan  sekolah dan kondisi daerah. Dengan demikian daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan.            Pengembangan kurikulum ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah tersebut. Jadi kurikulum terutama isinya sangat beragam, tiap sekolah punya kurikulum sendiri. Peranan guru lebih besar daripada dikelola secara sentralisasi, guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran dalam program tahunan/semester/satuan pengajaran, tetapi didalam menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk sekolahnya. Di dini guru juga bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi perencana, pemikir, penyusun, pengembang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.[11]
Kementerian Pendidikan Nasional hanya menentukan standar-standar minimal yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan di tingkat daerah. Standar minimal itu berupa standar kompetensi lulusan, standar isi, standar evaluasi, dan standar sarana dan prasarana. Pengembangan lebih jauh terhadap standar-standar tersebut diserahkan kepada daerah masing-masing. Dengan adanya desentralisasi kebijakan itu, maka daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat dan mengembangkan kurikulum sekolah yang berbasis keunggulan lokal dan global. Dan ini diharapkan terwakili melalui KTSP.
            Pemberlakuan KTSP di nilai berbagi pihak cukup membawa angin pada sistem pendidikan di Indonesia. Secara prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat setempat. KTSP dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan. Karena didalamnya dijamin adanya muatan kearifan lokal. Dan yang terpenting, guru diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala potensi yang ada dimasing-masing daerah.
            Itulah yang membuat KTSP dianggap paling cocok untuk Indonesia. Mengingat keberagaman budaya yang membentang dari ujung Sumatera sampai Papua. Dengan KTSP segala kekayaan itu dapat diadopsi sebagai material teaching (bahan pengajaran). Ini tentunya akan membawa nilai tambah dalam khazanah pendidikan Indonesia.
            Jika KTSP cukup ideal dalam konsep tertulis. Namun tidak demikian dalam aplikasinya. Terdapat banyak paradoks yang menghinggapi KTSP. Meskipun KTSP disusun dan dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Namun standar isi dan kompetensinya tetap saja ditentukan oleh pusat. Sehingga KTSP yang dianggap mewakili desentralisasi, pada kenyataannya tetap sentralisme melalui penyeragaman-penyeragaman.
            Selain itu pula, standarnisasi kelulusan setiap peserta didik tetap diukur dengan menggunakan UAN yang nota bene bersifat nasional. Ini jelas kontradiktif dengan semangat KTSP yang mengakomodir kearifan lokal sebagai komponen penting pendidikan. Pada titik ini, keberagaman yang diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia, diabaikan begitu saja.
            Padahal, bagaimanapun, perbedaan sosial, budaya dan letak geografis sangatlah mempengaruhi penerimaan akses dan kesempatan. Sangat tidak adil, tentunya, mengevaluasi peserta didik dengan cara yang sama. Padahal peserta didik itu pada dasarnya mempunyai latar belakang dan kesempatan yang jauh berbeda. Tidaklah etis secara serta merta menyamakan kualitas pendidikan di desa dengan perkotaan.
            Bisa dipastikan KTSP yang desentralis, yang telah dikembangkan oleh sekolah akan mati kutu jika berhadapan dengan UAN yang sangat sentralistik.
  1. Simpulan
1.      Pengembangan kurikulum Sentralisasi didasarkan pada kondisi historis, politis dan filosofis  homogenitas.
2.      Pengembangan Kurikulum desentralisasi seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah.
3.      Unsur penting dari Pengembangan kurikulum desentralisasi adalah Manajemen Berbasis Sekolah dan KTSP
4.      Pelaksanaan pengembangan kurikulum di Indonesia dipandang antara satu aspek dengan aspek lain masih sering terjadi unkoheren.










DAFTAR PUSTAKA

Program Pembanguna Nasional (Propenas) 2000-2004”. Republik Indonesia, 2000.

H A R. Tilaar, Paradigma baru pendidikan nasional, Rineka Cipta, Jakarta 2000

UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 7

Jalal, F dan Supriadi, D. .  Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita,2001

Abdul Halim, Sesentralisasi Pendidikan ,Kompas Jakarta 2001

Miftah Thoha. “Desentralisasi Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999

Hamid Hasan, Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, makalah, Jakarta, 2001

Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005,_

Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal 4

Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru,tt



[1] Program Pembanguna Nasional (Propenas) 2000-2004”. Republik Indonesia, 2000.
[2] H A R. Tilaar, Paradigma baru pendidikan nasional, Rineka Cipta, Jakarta 2000
[3] UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 7
[4] Jalal, F dan Supriadi, D. .  Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita,2001
[5] Abdul Halim,
[6] Ibid
[7] Miftah Thoha. “Desentralisasi Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999
[8] Hamid Hasan, Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, makalah, Jakarta, 2001
[9] Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005,_
[10] Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal 4
[11] Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru,tt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar