PARADIGMA
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Dalam
perspektif Sentralisasi dan Desentralisasi
OLEH : M. ANSHARI
A.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara besar yang
berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa dengan
wilayah yang terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan. Setelah merdeka, bebas
dari penjajahan, pembangunan Indonesia dimulai melalui tiga periode : 1956-1965
di bawah pemerintahan presiden Soekarno, 1967-1997 di bawah pemerintahan orde
baru Suharto, dan periode reformasi sekarang yang belum jelas hasil-hasil
pembangunannya. Dari sinilah muncul
berbagai ide untuk lebih memaksimalkan pembangunan bangsa yang adil dan merata.
Daerah-daerah mulai berani menuntut haknya, yakni otonomi daerah.
Mereka melihat bahwa sitem sentralistik yang yang selama ini dijalankan tidak
berhasil membawa Indonesia kearah yang lebih baik. Pembangunan lebih banyak di
pusat atau daerah tertentu sedangkan daerah penghasil devisa besar justru
terbelakang.
Berbagai
desakan dilakukan oleh daerah termasuk mengancam keluar dari NKRI jika tuntutan
mereka tidak dipenuhi., Akhirnya UU otonomi daerah oleh pemerintah dan DPR
disepakati untuk disyahkan maka pada tahun 1999 yaitu UU No 22/1999. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka wewenang untuk mengurus
daerah sendiri mulai dirancang oleh masing-masing daerah.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, persoalan demi persoalan
mulai muncul. Isu sumber daya manusia yang sangat minim menjadi penyebab utama.
Demikian halnya dengan persoalan pendidikan yang mana turut menjadi wewenang
daerah menjadi pro-kontra di masyarakat. Pengelolaan pendidikan yang baik akan menghasilkan Indonesia yang
baru. Desentralisasi pendidikan
merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari
bangsa lain. Melalui pendidkan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang
kritis dan bertanggung jawab. Dan lebih khusus juga peran untuk mengembangkan
kurikum pun konsekuensinya harus diserahkan ke daerah. Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang pengembangan
kurikulum ditinjau dari aspek sentralisasi pendidikan dan desentralisasi
pendidikan.
- Konsep
Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
1.
Sentralisasi pendidikan
Sentralisasi
adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu
instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah
digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan
semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak
pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah
sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah
kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang
berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi
lebih lama.[1]
Indonesia
sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga
mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara
berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba
seragam, seba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat
tingkat relevansinya bagi kehidupan anak dan
lingkungannya. Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang
memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan
talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah
melahirkan berbagai fenomena yang mempprihatinkan seperti :
a. Totaliterisme
penyelenggaraan pendidikan
b. Keseragaman
manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model
pengembangan sekolah dan pembelajaran.
c. Keseragaman pola
pembudayaan masyarakat
d. Melemahnya
kebudayaan daerah
e. Kualitas manusia
yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan[2]
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan[2]
2.
Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi
diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia[3]
Desentralisasi sebagai
penyerahan kekuasaan ke pemerintah daerah otonom dilakukan dalam berbagai
bidang atau urusan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, yang masih menjadi
urusan pemerintah pusat. Berdasarkan pasal 14
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 terdapat 16 (enam belas) urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagai urusan yang
berskala kabupaten/kota. Salah satu urusan wajib tersebut adalah
penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan
merupakan salah satu bidang yang didesentralisasi, atau yang oleh pemerintah
pusat dilimpahkan wewenang penanganannya kepada pemerintah daerah[4]
Desentralisasi pendidikan
berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada
daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan[5]
Desentralisasi pendidikan di Indonesia merupakan peluang bagi
peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, ia
merupakan peluang bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini
karena perhatian terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen
kepala sekolah, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan menjadi lebih baik jika dikelola oleh para pejabat pendidikan yang
ada di daerah. Pada akhirnya, tujuan desentralisasi pendidikan adalah pada
pemerataan mutu pendidikan yang meningkat ini. Kebijakan desentralisasi
pendidikan untuk mencapai harapan seperti di atas didukung oleh berbagai
potensi baik berupa keputusan politik di tingkat pusat maupun daerah,
gagasan-gagasan pendidikan yang inovatif, maupun kondisi nyata di daerah.
Keputusan politik yang sangat mendukung adalah dicantumkannya ketentuan dalam
UUD 1945 tentang anggaran minimal pendidikan sebesar 20%. Amanat konstitusional
ini bukan hanya menjadi kewajiban bagi pemerintah pusat untuk memenuhinya,
tetapi juga mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan
yang cukup tinggi pula bagi pembangunan pendidikan di daerahnya.[6]
Desentralisasi
pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a.
Manajemen
berbasis lokasi
b.
Pendelegasian wewenang
- Pengembangan Kurikulum Dalam Perspektif
Sentralisasi dan Desentralisasi
Jika di kaitkan dengan
konteks Pengembangan kurikulum, maka tak dapat dipisahkan dengan Sentralisasi
dan desentralisasi pendidikan.
Pada Era Sentralisasi Kurikulum
diberlakukan secara Nasional. Pengembangannya hanya dilakukan oleh orang-orang
tertentu yang terkadang hanya menilik salah satu bagian dari wilayah Indonesia. Kurikulum
inilah yang menjadi acuan tunggal dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Kurikulum ini di pukul rata berlaku untuk semua lembaga pendidikan. Baik yang
ada di pesisir pantai, di ujung gunung, pelosok pedesaan maupun yang berada di
kota besar.
Dalam
sejarah perkurikuluman di Indonesia. Dunia pendidikan kita telah ”melahirkan“
beberapa kurikulum. Pada masa orde lama, di kenal kurikulum 1947, 1952 dan
1964. Selanjutnya pada masa orde baru terdapat kurikulum 1975. Kemudian
disempurnakan menjadi Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kemudian disempurnakan
lagi menjadi kurikulum 1994.[8]
Pada awalnya sistem sentralisasi kurikulum dimaksudkan untuk membantu standardisasi mutu pendidikan secara nasional. Paling tidak akan ada
semacam standar minimal bagi
semua sekolah di Indonesia, apalagi sistem sentralisasi itu juga mencakup aspek evaluasinya, yang dulu kita kenal dengan sebutan
evaluasi belajar tahap akhir
nasional alias ebtanas. Sistem sentralisasi juga dapat memacu sekolah-sekolah yang kurang bermutu untuk meningkatkan
kualitas pembelajarannya,
sedangkan bagi sekolah yang sudah baik dapat menambah sendiri dengan melakukan berbagai pengayaan sehingga jadi lebih bermutu. Namun, dihadapkan
pada situasi daerah di Indonesia yang memiliki jurang perbedaan yang begitu
besar tadi, muncul keraguan: jangan-jangan penerapan kurikulum yang masih
sentralistik itu justru akan jadi bumerang bagi dunia pendidikan di negeri ini.
Bukan itu saja. Kurikulum
sentralistik itu juga kerap memuat bermacam-macam mata pelajaran atau materi
yang sesungguhnya tidak sesuai kebutuhan dan keadaan daerah sehingga hanya
menyulitkan peserta didik. Karena kebutuhan daerah berlainan, sebenarnya mereka
harus diberi tempat untuk memilih dan mengembangkan isi kurikulum yang sesuai
dengan kebutuhan dan kemajuan daerah bersangkutan. Disini
guru tidak mempunyai peranan dalam perancangan, dan evaluasi yang bersifat
makro, mereka berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim
khusus, guru menyusun kurikulum dalam jangka waktu 1 tahun, atau 1 semester.
Menjadi tugas guru untuk menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat memilih dan
menyusun bahan pelajaran sesuai kebutuhan, minat dan tahap perkembangan anak,
memiliki metode dan media mengajar yang bervariasi, kurikulum yang tersusun
sistematis dan rinci diharapkan akan memudahka
guru dalam implementasinya.[9]
Seiring dengan era reformasi Pengembangan
kurikulum merupakan tuntutan desentralisasi pendidikan sebagaimana tertuang
dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang
menegaskan adanya kewenangan daerah propensi, kabupaten, dan kota untuk
“mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat” [10]
Pada
era ini
muncul kurikulum 2004. Yang
ini akrab disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dalam perkembanganya
terjadi perubahan pada pola standar isi dan standar kompetensi. Inilah yang
selanjutnya melahirkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Berdasarkan
peraturan perundang-undangan di atas sudah diatur bahwa pelaksanaan pendidikan
di luar kewenangan pemerintah pusat dan harus dilakukan di daerah. Oleh karena
itu pengembangan kurikulum sebagai salah satu substansi utama dalam
pengembangan pendidikan perlu di desentralisasikan, terutama kebutuhan siswa,
keadaan sekolah dan kondisi daerah. Dengan demikian daerah atau sekolah memiliki
cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Pengembangan kurikulum ini didasarkan
atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah
tersebut. Jadi kurikulum terutama isinya sangat beragam, tiap sekolah punya
kurikulum sendiri. Peranan guru lebih besar daripada dikelola secara
sentralisasi, guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran
dalam program tahunan/semester/satuan pengajaran, tetapi didalam menyusun
kurikulum yang menyeluruh untuk sekolahnya. Di dini guru juga bukan hanya
berperan sebagai pengguna, tetapi perencana, pemikir, penyusun, pengembang dan
juga pelaksana dan evaluator kurikulum.[11]
Kementerian Pendidikan
Nasional hanya menentukan standar-standar minimal yang harus dipenuhi oleh
satuan pendidikan di tingkat daerah. Standar minimal itu berupa standar
kompetensi lulusan, standar isi, standar evaluasi, dan standar sarana dan
prasarana. Pengembangan lebih jauh terhadap standar-standar tersebut diserahkan
kepada daerah masing-masing. Dengan adanya desentralisasi kebijakan itu, maka
daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat dan mengembangkan kurikulum
sekolah yang berbasis keunggulan lokal dan global. Dan ini diharapkan terwakili melalui KTSP.
Pemberlakuan
KTSP di nilai berbagi pihak cukup membawa angin pada sistem pendidikan di
Indonesia. Secara prinsip, KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi, kerakteristik daerah dan sosial budaya masyarakat setempat. KTSP
dianggap sebagai kurikulum otonom yang berbasis kerakyatan. Karena didalamnya
dijamin adanya muatan kearifan lokal. Dan yang terpenting, guru diberikan
kesempatan untuk memaksimalkan segala potensi yang ada dimasing-masing daerah.
Itulah
yang membuat KTSP dianggap paling cocok untuk Indonesia. Mengingat keberagaman
budaya yang membentang dari ujung Sumatera sampai Papua. Dengan KTSP segala
kekayaan itu dapat diadopsi sebagai material
teaching (bahan pengajaran).
Ini tentunya akan membawa nilai tambah dalam khazanah pendidikan Indonesia.
Jika
KTSP cukup ideal dalam konsep tertulis. Namun tidak demikian dalam aplikasinya.
Terdapat banyak paradoks yang menghinggapi KTSP. Meskipun KTSP disusun dan dikembangkan
oleh setiap satuan pendidikan. Namun standar isi dan kompetensinya tetap saja
ditentukan oleh pusat. Sehingga KTSP yang dianggap mewakili desentralisasi,
pada kenyataannya tetap sentralisme melalui penyeragaman-penyeragaman.
Selain
itu pula, standarnisasi kelulusan setiap peserta didik tetap diukur dengan
menggunakan UAN yang nota bene bersifat nasional. Ini jelas kontradiktif dengan
semangat KTSP yang mengakomodir kearifan lokal sebagai komponen penting
pendidikan. Pada titik ini, keberagaman yang diakui sebagai kekayaan budaya
Indonesia, diabaikan begitu saja.
Padahal,
bagaimanapun, perbedaan sosial, budaya dan letak geografis sangatlah
mempengaruhi penerimaan akses dan kesempatan. Sangat tidak adil, tentunya,
mengevaluasi peserta didik dengan cara yang sama. Padahal peserta didik itu
pada dasarnya mempunyai latar belakang dan kesempatan yang jauh berbeda.
Tidaklah etis secara serta merta menyamakan kualitas pendidikan di desa dengan
perkotaan.
Bisa
dipastikan KTSP yang desentralis, yang
telah dikembangkan oleh sekolah akan mati kutu jika
berhadapan dengan UAN yang sangat sentralistik.
- Simpulan
1.
Pengembangan kurikulum Sentralisasi didasarkan pada kondisi historis,
politis dan filosofis homogenitas.
2.
Pengembangan Kurikulum desentralisasi seiring dengan diberlakukannya
otonomi daerah.
3.
Unsur penting dari Pengembangan kurikulum desentralisasi adalah Manajemen
Berbasis Sekolah dan KTSP
4.
Pelaksanaan pengembangan kurikulum di Indonesia dipandang antara satu aspek
dengan aspek lain masih sering terjadi unkoheren.
DAFTAR PUSTAKA
Program Pembanguna Nasional (Propenas) 2000-2004”. Republik Indonesia, 2000.
H A R. Tilaar, Paradigma baru
pendidikan nasional, Rineka Cipta, Jakarta 2000
UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 7
Jalal, F dan Supriadi,
D. . Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita,2001
Abdul Halim, Sesentralisasi
Pendidikan ,Kompas Jakarta 2001
Miftah Thoha. “Desentralisasi
Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni
1999
Hamid Hasan, Pendekatan
Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, makalah, Jakarta,
2001
Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005,_
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal 4
Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru,tt
[4] Jalal, F dan Supriadi, D. . Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita,2001
[7] Miftah Thoha. “Desentralisasi
Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni
1999
[8] Hamid Hasan, Pendekatan
Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, makalah, Jakarta,
2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar