KRITIK DAN SERANGAN AL-GHAZALI
TERHADAP KAUM FILOSOF
OLEH : M. ANSHARI
A. Sekilas Tentang Riwayat Hidup Imam
al-Ghazzali
Tokoh
yang juga sering disebut al-Ghazzali yang berasal dari kata Ghazzal yang
berarti tukang pintal benang karena ayahnya adalah tukang pintal benang wol,
dilahirkan tahun 450H/1058M di kota Thus sekarang Meshed, Iran[1],
ia wafat pada 14 Jumadil Akhir 505H (18 Desember 1111M, ia menghembuskan nafas
terakhirnya dalam usia 55 tahun[2].
Ia beranjak
menjadi remaja yang terkenal cerdas dan berkemauan tinggi. Setelah belajar pada
tokoh-tokoh yang berbeda di zamannya di kota Thus, ia melanjutkan kehausannya
akan ilmu ke kota-kota di Asia Tengah. Baru setelah ia dikenal sebagai tokoh
yang kredibel ia diangkat sebagai Guru Besar pada madrasah an-Nidhomiyah Bagdad
yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk[3].
Pada masa di ataslah al-Ghazzali
menyampaikan pikiran-pikirannya dan serangan-serangannya pada paham non-kerajaan
(Penganut Madhab Syafi’i dan Asy’ary) seperti
aliran batiniyah dan kaum filosof yang dinilai telah lepas dari yari’at dan tiada
mengindahkan perintah kerajaan sehingga membuat aliran batiniyah kebakaran
jenggot[4].
Tahun
1095, al-Ghazali ber-uzlah, berkelana sebagai pertapa. Pada saat itulah,
ia menulis Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Ia wafat tahun 1111 M[5]
Karya tulis al-Ghazali lebih kurang
berjumlah 85 kitab, meliputi bidang fiqh, tafsir, hadis, ‘aqidah, filsafat,
tasawuf, akhlaq dan sebagainya[6].
Menurut Zwemer, karya tulis
al-Ghazali, banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti bahasa
Ibrani, Latin, Jerman, Perancis, Inggris, Turki dan Indonesia.
Mengenai
‘aqidah dan Tasawuf, al-Ghazali menyatakan harus bersikap moderat dan berpegang
teguh pada jalan yang lurus. Dengan jalan mengambil jarak antara dua pihak yang
ekstrim, yaitu Hasywiyah yang hanya berpegang pada zahir nas dan Mu’tazilah
yang berlebihan dalam menggunakan akal, sehingga cenderung menggusur apa yang maqtu’
dalam syara‘ (agama). Dan dalam bidang ‘aqidah ini pula yang harus dipegang
adalah akal dan naqal. Keduanya ibarat mata yang sehat dan matahari yang
bersinar. Petunjuk hanya dapat dihasilkan melalui keduanya, bukan salah
satunya, sehingga harus ada kerjasama antara akal dengan naqal[7].
B. Karya-Karya Imam Ghazzali
Karya-karya Al-Ghazzali yang
memiliki pengaruh bagi pemikiran umat Islam selanjutnya
sebagi berikut;
a. Ihya
Ulumu al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan aqidah, ibadah,
akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
b. Al-Iqtishod fi al- I’tiqod,
uraian aqidah menurut aliran al-Asyâ’ariah
c. Maqosid al-Falasifah,
berisikan pronsip-prinsip filsafat; ilmu manthiq, alam, dan ke-Tuhan-an..
d. Al-Munqiz min ad-Dhalal,
uraian tentang kesepakatan ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai lairan
penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikaji secara kritis,
dengan penjelasan kelebihan dan kekurangan masing-masing aliran.
e. Mizan
al-â’˜amal, berisikan
tentang Mizan (timbangan) amal-akhlak
f. Tahafuz
al-Falasifah (Kerancuan para Filosof), berisikan keritikan al-Ghazzali pada
para filosof.[8]
C.
Duapuluh Serangan al-Ghazzali Terhadap Filsof
Tahafut
al-falasifah
adalah kitab yang dibuat oleh al-Ghazali saat ia menjabat di Madrasah
an-Nidhomiyah Bagdad. Isi dari Tahafut al-Falasifah adalah
sanggahan-sanggahan al-Ghazzali pada hasil pemikiran filsafat Yunani yang dibawa
oleh Ibnu sina dan Ibnu Arabi
Terdapat
20 perkara pemikiran filsafat yang dikritik dan coba diruntuhkan oleh
al-Ghazzali. Dalam 20 persoalan tersebut terdapat 3 persoalan yang oleh
al-Ghazzali yang dibantah logikanya dan dibantah hasil pemikirannya serta
dikafirkan jika mempercayainya, yaitu keqodiman Alam, Allah tidak mengetahui
partikularia-partikularia dan pengingkaran filsuf akan kebangkitan jasmani di
hari akhir. Sedang 17 persoalan sisa adalah persoalan-pesoalan yang dibantah
logikanya tapi belum tentu subtansinya.
Ketika menyerang
filsafat, al-Ghazali memberikan beberapa criteria, yaitu : 1) Bagian yang harus
dikafirkan, 2) Bagian yang dianggap bid’ah, dan 3) Bagian yang tidak harus
diingkari sama sekali.[9]
Menurut al-Ghazali kekeliruan para filosof
tersebut sebanyak 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang
fisika. Dalam 17 persoalan mereka harus dinyatakan ahl al-Bid’ah, sedang dalam
3 persoalan lainnya, mereka dinyatakan kafir, karena pikiran-pikiran mereka
dalam tiga soal tersebut berlawananan sama sekali dengan pendirian semua kaum
muslimin.
Sebenarnya
logika al-Ghazzali dalam mengemukakan pendapatnya bukanlah hal yang asing bagi
kita, karena para ilmu kalam abad pertengahan yang diajarkan di pesantren juga
menggunakannya dalam menjelaskan persoalan ilmu tauhid.
Dua Puluh
Sangahan Al-Ghazzali terhadap para filosof , sebagai berikut [10]
1. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah)
Alam, masa dan ruang.
Disini al-Ghazzali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi
al-Ghazali Alam adalah sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang
qodim hanyalah satu yaitu Allah.
2. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah)
Alam, masa dan ruang.
Seperti yang kita tahu dalam filsafat; benda(materi),
masa(waktu) dan ruang adalah timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa adalah
ukuran jarak waktu dari materi dan ruang adalah dimana materi berada. Bagi
filsuf benda (materi) itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energy dalam
fisika). al-Ghazzali membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah
berkehendak untuk menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka
hancurlah Alam ini dan tiada pulalah ia.
3. Kerancuan para filsuf dalam
menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaannya, dan
keterangan bahawa hal tersebut adalah majaz (perumpamaan) dan bukan hakikatnya.
Disini kritik al-Ghazzali lebih pada pendapat filsuf yang
mengatakan bahwa Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti
apa yang kita ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih (murid)
dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang
dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadi Fâil (Pelaku) akan apa yang
dikehendakiNya. Dan bagi para Filsuf Tuhan tiadalah dzat yang berkehendak (murid)
karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah dzat yang suci dari segala sifat. Dan sesuatu yang timbul
dari-Nya adalah sesuatu konsekwensi yang mesti (luzum dlaruri).
Hal kedua bagi filsuf yang tidak mungkin terjadi karena alam
adalah qodim adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist).
Ketiga, Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang
satu dan alam murakkab (berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para
filsuf bagaimana mungkin sesuatu yang murakkab dapat timbul dari sesuatu
yang satu? Dan al-Ghazzali menolak ketiga hal di atas.
4. Ketidakmampuan Filsuf untuk
membuktikan ada(wujud)nya pencipta alam.
Disini al-Ghazzali mempertanyakan tesa yang menyatakan bahwa
Alam qodim, tapi ia diciptakan. Dan bagi al-Ghazzali ini adalah perpaduan
pendapat antara ahlu al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang
hadist pasti ada penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan
bahwa Alam adalah qodim maka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi
al-Ghazzali pendapat para filsuf tersebut secara otomatis batal.
5.
Kelemahan para filsuf dalam
mengemukakan dalil (rasional) bahwa Tuhan adalah satu dan kemustahilan adanya
dua Tuhan, wajib al-wujud, yang masing-masing tiada illah (sebab).
Al-Ghazzali
menantang segala hal dalam pembuktian para filsuf tersebut. Bagi al-Ghazzali yang
ditolak adalah logika-logika yang dipakai dan bukan pada subtansi persoalan.
6. Sanggahan
tentang tiadanya sifat bagi Tuhan.
Bagi para filsuf, Tuhan harus dibersihkan dari segala
berkehitungan (muta’addidah), termasuk segala sifat yang oleh kaum asy-‘Ariyah
selama ini dilekatkan pada Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan Tuhan maka
ada saling ketergantungan antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal yang
mustahil, apalagi jika ditambah dengan af’al.
Al-Ghazzali menolak argument ini, dan menyatakan kelemahan
pendapat para filsuf tentang ketiadaan sifat Tuhan. Bagi al-Ghazzali hal ini
ditolak karena sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan berarti
ia menjadi sesuatu yang lain dari dzat.
7.
Sanggahan terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan.
Para Filsuf berpendapat definisi itu mengandung dua aspek; jins
(genus) dan fashl (diferensia), dan Tuhan adalah dzat yang tidak mungkin ber-musyarakah
dalam jins dan ia tidak dibagi dalam fashl. Keduanya adalah
komposisi dan Tuhan mustahil berkomposisi.
Bagi al-Ghazzali bisa saja komposisi bagian-bagian itu
terjadi dari segi definitive. Hal ini karena al-Ghazzali menerima adanya
sifat-sifat bagi Tuhan.
8. Batalnya pendapat Filsuf: Wujud
Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan adalah wujud yang murni, bukan
mahiyah(hakikat sesuatu-al-kautsar) dan bukan hakikat yang wujud Tuhan
disandarkan padanya. Tapi wujud al-wajib seprti mahiyah bagi yang lainnya.
Al-Ghazzali menyangkal semua analogi folosuf baik tentang
mahiyah, hakikat, dan wujud al-wajib yang menurut al-Ghazzali mengulangi
kerancuan yang sama. Al-Ghazli mempertanyakan segala metode yang dipakai dalam
menelurkan pemikiran tersebut dan menganggapnya sebagisuatu kesalahan para
filsuf.
9. Ketidakmampuan filsuf untuk
membuktikan, dengan arumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism).
Hal ini
berangkat dari adanya tubuh eternal (jism qodim) yang diterima oleh
kalangan Filsuf. Hal ini bagi al-Ghazali adalh hal yang rancu karena jism
adalah hadist karena ia tersusun dari diferensia (fashl-fashl). Jika
Filsuf mengelak dengan mengatakan bahwa wajib al-Wujud adalah satu jadi ia
tidak dapat dibagi-bagi seperti yang lainnya. Hal ini pun menurut al-Ghazzali
adalah logika yang dipaksakan karena hal iu berangkat dari persepsi tentang
kemustahilan komposisi (tarkib), dan penolakan terhadap komposisi
didasarkan pada penolakan terhadap mahiyah (kuiditas-terj).
10. Ketidakmampuan
Filsuf untuk membuktikan , melalui dalil rasional, adanya sebab atau pencipta
alam.
Hal ini bagi al-Ghazzali masih berupa kerancuan para Filsuf
yang mempertahankan pendapat tentang ke qodim an Alam tapi ia diciptakan.
Menurut al-Ghazzali mengapa mereka tidak berkata seperti kaum Atheis saja yang
mengatakan Alam itu qodim dan tiada memerlukan pencipta, karena suatu sebab
hanya diperlukan bagi hal yang bermula di dalam waktu (hadist).
11. Kelemahan pendapat para filsuf yang
mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lainnya dan bahwa Dia mengetahui Species
(al-anwa) dan Genera (jins) secara universal (bi naui kulliat).
Para filsuf mengatakan bahwa Tuhan mengetahui al-Anwa dan
al-Jins secara kulliat karena emanasi yang terjadi padanya hanya
secara universal bukan individu-individu atau pribadi-pribadi.
Akan tetapi al-Ghazali memberikan sanggahan bahwa Tuhan menciptakan
alam dengan Kehendaknya, maka alam menjadi objek kehendak, sangat mustahil
objek kehendak tidak diketahui oleh yang berkehendak.
12. Ketidakmampuan para filsuf untuk
membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui Dirinya sendiri.
Persoalan ini berpangkal pada pendapat para filsuf yang
mengatakan bahwa alam beremanasi secara alami, bukan atas kehendak, seperti
emanasi sinar matahari dari matahari.
Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali adalah apabila
sesuatu yang beremanasi dari Tuhan mengetahui dirinya sendiri bagaimana mungkin
Tuhan sebagai asal emanasi tidak mengetahui diri-Nya sendiri, karena Tuhan
menyadari akan adanya emanasi tersebut, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
13. Gugurnya pendapat para Filsuf bahwa
Tuhan tidak mengetahui Partikularia-partikularia yang dapat dibagi-bagi sesuai
dengan pembagian waktu ke dalam telah, sedang dan akan.
Pendapat para filsuf bahwa Pengetahuan mengikuti objek
pengetahuan, apabila objek berubah, maka pengetahuan juga berubah, apabila
pengetahuan berubah maka subjek pun juga berubah. Perubahan yang terjadi pada
suatu benda akan menyebabkan pengetahuan atas benda itu juga berubah demikian
juga subjek yang mengetahui perubahan itu. Akan tetapi, mustahil Tuhan berubah
karenanya Ia tidak mengetahui perubahan-perubahan sesuatu yang terjadi dalam
waktu.
Tak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, tetapi
pengetahuan-Nya tentang hal tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya suatu
perubahan, sedang terjadi maupun setelah terjadinya. Inilah argumen al-Ghazali
mengenai hal itu.
Ditambahkan oleh al-Ghazali bahwa pendapat para filsuf
mengenai hal ini bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya yang mengatakan
bahwa alam qadim, sesuatu yang qadim tidak dapat berubah. Mengapa ia
berubah? Maka para filsuf harus mengubah pendapatnya mengenai keqadiman
alam.
14. Ketidakmampuan para filsuf untuk
membuktikan bahwa langit adalah makhluk hidup (hayawan), dan mematuhi
Tuhan melalui geraknya.
Langit adalah makhluk hidup dan mempunyai suatu jiwa yang
berhubungan dengan tubuh langit sebagaimana jiwa kita berhubungan dengan tubuh
kita. Ini dibuktikan dengan adanya gerak langit. Gerak langit bukanlah gerakan
alami[11]
(at-tabi’iyyah), bukan pula gerakan terpaksa (digerakkan oleh yang lain)
akan tetapi gerakan volisional (irady wa nafsany)[12]
Mengenai ungkapan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa langit
bukanlah makhluk hidup, karena Gerakan langit adalah gerakan paksaan[13]
dan kehendak tuhan sebagai prinsipnya.
15. Sanggahan terhadap yang filsuf sebut
tujuan yang menggerakkan langit.
Gerakan langit menurut para filsuf bertujuan untuk taqarrub
(mendekatkan diri) pada Allah. Pengertian yang dimaksud adalah mendekatkan diri
dalam hal sifat-sifat bukan dalam hal ruang, sebagaimana kedekatan malaikat
pada-Nya, karena ada-Nya sebagai wujud yang sempurna berbeda dengan
bertentangan dengan segala sesuatu yang tidak sempurna. Dan malaikat-malaikat
yang dekat (al-muqarrabun) adalah sesuatu yang mendekati
kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan langit didapat melalui penyerupaan (tasyabbuh)
dengan Prinsip Pertama melalui ; penempatan yang sempurna dalam semua posisi
yang mungkin baginya.
Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali seperti yang
diungkapkannya pada persoalan sebelumnya (14). Ia menambahkan, bahwa gerakan
langit tidak menunjukkan bahwa mereka (langit) bertujuan untuk mendekati
kesempurnaan dalam artian kesempurnaan Tuhan, karena tidak ada bedanya antara
posisi mereka di suatu tempat dan ditempat yang lain yang menunjukkan
kesempurnaan. Semuanya hanya perpindahan posisi saja.
16. Kelemahan teori para filsuf bahwa
jiwa-jiwa langit mengetahui semua partikularia-partikularia yang bermula
(al-juziyyat al-haditsah) didalam alam ini.
Persoalan ini bermula ketika para filsuf mengatakan bahwa
malaikat langit adalah jiwa-jiwa langit, yang menjadi perantara Tuhan dalam
mengisi al-lawh al mahfudl. Sanggahan yang diungkapkan oleh al-Ghazali
kemudian adalah bagaimana mungkin sebuah makhluk dapat mempunyai pengetahuan
tentang partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas.
Ditambahkan oleh al-Ghazali hal yang paling kacau adalah
pernyataan para filsuf bahwa apabila falak mempunyai gerakan-gerakan
partikular, maka ia juga mempunyai representasi subordinat-subordinat dan
konsekuensi-konsekuensi dari gerakan partikular itu.
Seperti seorang manusia yang bergerak mesti mengetahui
gerakan-gerakannya dan konsekuensi atas gerakannya dalam hubungannya dengan
tubuh-tubuh yang lain atau makhluk-makhluk yang lain dan itu tidak mungkin.
17. Sanggahan
terhadap para Filsuf akan kemustahilan Perpisahan dari sebab alami
peristiwa-peristiwa.
Menurut al-Ghazali, hubungan yang dipeercaya sebagai sebab
dan akibat adalah tidak wajib. Semua hubungan sebab dan akibat terjadi karena
memang Tuhan telah menciptakannya demikian adanya. Seperti, Dia kuasa
menciptakan kekenyangan tanpa makan, seperti contoh ketika Ibrahim tidak
terbakar api. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali meniadakan panas dari api
atau Tuhan telah menciptakan suatu sifat tertentu yang dapat mencegah timbulnya
sebuah akibat dari suatu sebab.
18.
Tentang ketidakmampuan para Filsuf
untuk memberikan demonstrasi rasional tentang teori mereka bahwa jiwa manusia
adalah Substansi spiritual yang ada dengan sendirinya; tidak menempati ruang; bukan tubuh;
dan tidak terpateri dalam tubuh; dan ia pun tidak berhubungan dengan tubuh dan
tidak pula terpisahkan darinya sebagaimana tuhan tidak di luar alam dan tidak
didalam alam dan demikianlah malaikat-malaikat.
Yang menjadi dasar para filsuf dalam hal ini adalah
ketidakmungkinan pengetahuan yang satu yang rasional terpateri dalam tubuh,
karena jika hal itu maka substratum fisik harus juga membagi pengetahuan itu.
Begitu juga jiwa sebagai sesuatu yang tunggal tidak dapat menempati tubuh yang
merupakan sesuatu yang dapat dibagi-bagi.
Pendapat para filsuf tentang pengetahuan seperti tampak pada
silogisme berikut :
a.
Apabila substratum pengetahuan
adalah suatu tubuh yang dapat dibagi-bagi, maka pengetahuan didalamnya akan
terbagi-bagi.
b.
Tetapi
pengetahuan yang ada didalamnya tidak dapat terbagi-bagi
c.
Karenanya
substratum itu adalah bukan tubuh.
Menurut
al-Ghazali yang menjadi kesalahan para filsuf adalah pemahaman mereka tentang
pengetahuan yang akan terbagi oleh pembagian substratumnya. Seperti contoh
persepsi indrawi (pengetahuan inderawi) sebagai tampilan atas apa yang
dipersepsi dalam jiwa orang yang melakukan persepsi dimana jiwa tetap
membutuhkan organ-organ badan sebagai penginderanya.
19. Kelemahan tesis para filsuf bahwa
setelah terwujud jiwa manusia tidak dapat hancur; dan bahwa watak keabadiannya
mambuatnya mustahil bagi kita untuk membayangkan kehancurannya.
Al-Ghazzali
memberikan sanggahan mengenai hal ini dalam dua segi ;
Pertama, dalam persoalan
yang ke 18 telah disebutkan oleh para filsuf bahwa jiwa tidak terdapat dalam
tubuh, hal ini telah terbantahkan.
Kedua, meskipun mereka
tidaka menganggap bahwa jiwa ada dalam tubuh akan tetapi terbukti ada suatu
hubungan antara jiwa dengan tubuh, sehingga suatu jiwa bergantung pada wujudnya
tubuh. Hubungan antara jiwa dan tubuh suatu
syarat bagi eksistensi jiwa.
20. Sanggahan terhadap penolakan para
Filsuf akan kebangkitan tubuh-tubuh.
Menurut al-Ghazzali, agama telah mengajarkan kita untuk
mempercayai kebangkitan kembali (ba’ts wa nusyur) yang akan dibarengi
dengan kemunculan kembali kehidupan dan dengan kebangkitan dimaksudkan kembali
kebangkitan tubuh-tubuh, dan ini mungkin dengan mengembalikan jiwa kedalam
tubuh, karena jiwalah yang membentuk diri kita ini meskipun tubuh selalu mengalami
perubahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali,
al-Iqtisad fi al-I’tiqad, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1988.
Zar, Sirajuddin,
Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,2004
http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/ Review Tahafut aL-Falasifah,
oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat waktu mengunduh: Senin, 28 September pkl 11.20
Majid, Nurcholish, al-Ghazali
dan Ilmu Kalam, Mimeo, Simposium tentang al-Ghazali, Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia, 1985.
M.Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Historitas,
Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 1999,
cetakan II hal. 11
Musa Kazhim , pengntar dalam ; Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, Mizan, Bandung, 2001, hal. 11
Munir Mulkhan, Abdul.. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan
Kebebasan : Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali. Jakarta
: Bumi Aksar,1991
Quzwain, Chatib, al-Ghazali
dan Tasawuf, Mimeo, Simposium tentang al-Ghazali, Badan Kerjasama Perguruan
Tinggi Islam Swasta se-Indonesia, 1985.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah
al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989.
Yusuf Qardhawi, Al-Imam Al-Ghazali Bina Madihihi Wa Naqidihi,
Ter. Hasan Abrori, Al-Ghazali antara Pro kontra, Surabaya: Risalah Gusti, 1997
Zar,
Sirajuddin. 2004, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Zwemer, Samuel M., A
Muslim Seeker After God, New York: Fleming H. Revell Company, 1920.
[3] Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal; 155
[5] Chatib Quzwain, al-Ghazali dan Tasawuf, Mimeo,
Simposium tentang al-Ghazali, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta
se-Indonesia, 1985, hlm. 4.
[6] Samuel M. Zwemer, A Muslim Seeker After God,
(New York: Fleming H. Revell Company, 1920), hlm. 290-302.
[7] Al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad, (Beirut:
Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1988), hlm. 3-4.
[9]. Yusuf Qardhawi, Al-Imam Al-Ghazali Bina Madihihi Wa Naqidihi, Ter. Hasan
Abrori, Al-Ghazali antara Pro kontra, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 17 Yusuf Qardhawi, Op. Cit, h. 21.
[10] Seluruh dua
puluh point sangahan Al-Ghazali terhadap para filosof yang tertuang dalam
bukunya At-Tahafut Falasifah diambil dari; http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/ waktu mengunduh: Senin, 28 September
2009 pkl 11.20 Review Tahafut aL-Falasifah,
oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat
[11] Gerakan alami adalah gerakan perpindahan tempat,
apabila sesuatu itu telah menempati suatu ruang yang cocok baginya, maka dia
tidak akan bergerak lagi
[12] Gerakan yang disadari dan dikehendaki.
12Gerakan yang dilakukan yang didasarkan pada adanya paksaan dari luar benda itu
12Gerakan yang dilakukan yang didasarkan pada adanya paksaan dari luar benda itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar