Jumat, 07 Juni 2013

Sejarah Makam Datu Muhammad Rais

Loknyiur merupakan salah satu anak
desa yang terletak di bagian utara Desa
Bamban Kecamatan Angkinang. Jaraknya
kurang lebih 10 kilometer dari kota
Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu
Sungai Selatan (HSS), Kalimantan
Selatan. Sementara dari jalan raya Trans
Kalimantan sekitar 2 kilometer. Dengan
karakteristik geografis tanah rawa dan
sungai. Sungai terkenal itu bernama
Sungai Martajiwa. Di bantaran sungai
Martajiwa terdapat sebuah makam tua
dengan sebuah nisan tanpa nama. Sejak
nenek moyang dulu tidak tahu pasti
makam siapa itu.
Dengan ketidaktahuan dan
ketidakpastian itu muncul berbagai
cerita tanpa dasar dan alasan yang kuat
untuk menjelaskan keberadaan makam
tersebut. Diantaranya yang pernah
mengemuka menyebutkan makam
tersebut hadirnya bersamaan dengan
datangnya banjir besar di sungai
Martajiwa. Hingga hadirlah makam
tersebut di bantaran sungai itu.
Dulunya di pinggir sungai Martajiwa
tumbuh sebatang beringin besar yang
rindang dengan akarnya melebar di
permukaan tanah. Terlihat sebuah nisan
yang terbuat dari kayu ulin tertancap di
sela-sela akar pohon beringin yang
mengisyaratkan bahwa itu sebuah
makam yang tidak tahu pasti siapa
penghuninya.
Cerita ini bertahun-tahun lamanya dan
hampir terlupakan ditelan masa hingga
pergantian zaman hingga sekarang ini.
Namun kadangkala ada muncul
keanehan atau peristiwa ganjil yang
mengisyaratkan bagi orang yang
tertentu dapat melihat benda asing di
sekitar makam berupa binatang atau
benda hidup lainnya. Seperti buaya
putih, ular putih, kucing putih, dsb.
Konon katanya sampai 41 jenis benda
hidup aneh yang berbeda dengan
kehidupan biasanya.
Penampakan makhluk aneh tersebut
biasanya diiringi dengan hujan lebat dan
angin kencang. Hingga mengakibatkan
banjirnya sungai Martajiwa. Yang aneh
sedalam dan sebanjir apapun juga
sungai Martajiwa mengalirkan airnya,
tetap tidak akan menenggelamkan nisan
yang tertancap di atas makam tersebut.
Pernah terjadi pada empat orang anak
muda Desa Loknyiur pada masa lalu.
Yakni Rusli (Utuh Rulli), Anggur, Basuni,
dan Aini. Keempat anak muda ini sedang
asyik bagarit (berburu). Karena tidak
mendapat binatang buruannya maka
sasaran emosionalnya adalah
menendang dan memukul nisan dari
makam tadi.
Yang menendang adalah Basuni (Asun),
Aini, dan Anggur hanya sedikit
memukul. Sementara Rusli tidak ikut
melakukan hal seperti mereka. Tak lama
kemudian Basuni dan Aini mendapat
musibah dan langsung meninggal dunia.
Sedangkan Anggur menderita penyakit
lemah dan tidak sekuat sebagaimana
masih muda dulu lagi. Sedangkan Rusli
karena tidak ikut melakukan perbuatan
tersebut tidak mendapat dampak dari
perbuatan masa lalu.
Dilain kesempatan ada
seorang anak muda yang iseng dan
nekad mencabut sebuah nisan makam
yang terbuat dari kayu ulin. Lalu
dipotongnya untuk dibuat mainan
gasing. Tidak berapa lama orang yang
nekad mengambil nisan tadi mendapat
musibah meninggal dunia. Atas peristiwa
tadi hingga sekarang makam tersebut
tersisa hanya satu nisan yang masih
utuh tertancap di atas pusaranya.
Sekitar tahun 1999 Desa
Loknyiur kedatangan rombongan tamu
dari Martapura Kabupaten Banjar.
Mereka datang naik mobil taksi Colt
L-300. Rombongan tersebut diterima
langsung oleh Rusli (Utuh Rulli) yang
dianggap sebagai tetuha kampung.
Rombongan itu menanyakan
dimana letak makam keramat. Rusli tidak
pikir panjang lalu menunjuk makam
yang ada di bantaran sungai Martajiwa.
Rombongan minta ijin untuk diantar ke
makam yang pada waktu itu hanya bisa
dicapai dengan naik jukung untuk
sampai ke lokasi makam.
Sesampainya disana
rombongan melakukan ritual dengan
iringan do’a beserta dzikir, tasbih,
tahmid, dan tahlil. Selesai melaksanakan
acara tersebut, para penziarah langsung
minta kembali. “ Mohon dan tolong
makam ini dijaga dan dirawat sebaik-
baiknya karena makam ini termasuk
makam yang diberi keramat oleh Allah
SWT,” ujar para penziarah kepada Rusli
sebelum meninggalkan makam.
Diawal tahun 2002 datang dua
orang yang berasal dari Barabai
Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Salah seorang mengaku sebagai guru
pada salah satu pesantren di Barabai.
Sementara yang satunya lagi mengaku
pensiunan Kepala PU HST. Keduanya
tidak mau menyebutkan nama.
Lantas mereka juga bertanya
kepada Rusli dimana disini ada makam
Datu yang punya keramat. Seperti
semula Rusli menjawab dan menunjuk
makam yang ada di bantaran sungai
Martajiwa. Kedua orang tadi sama
halnya dengan rombongan yang datang
dari Martapura dalam arti bersama-
sama ziarah dengan iringan do’a serta
dzikir, tasbih, tahmid, dan tahlil. Selesai
ziarah kedua orang tersebut langsung
kembali. Sebelum meninggalkan makam
sempat berpesan kepada Rusli mohon
makam itu dijaga dan dirawat sebaik-
baiknya. Karena makam itu diberi
keramat oleh Allah SWT.
Di sekitar makam ada
tersimpan benda bersejarah dan
mempunyai nilai yang tinggi. Orang yang
dimakamkan itu bernama Datu
Muhammad Rais.
Kemudian kedua orang
tersebut sempat mengatakan kepada
Rusli kalau memang mendapat petunjuk
mereka akan datang kembali. Rupanya
mereka berdua mendapat petunjuk, dua
hari kemudian mereka datang lagi
dengan perlengkapan seadanya siap
untuk melakukan penggalian
berdasarkan intuisi, naluri dan mata
hatinya.
Sehingga pada keesokan
harinya, tepat pada jam tujuh pagi
mereka berdua didampingi oleh Rusli
memulai mengerjakan dengan
perhitungan-perhitungan sekitar 5
meter sebelah timur dari nisan tadi
posisi yang harus digali. Dengan penuh
kehati-hatian sekrup dan sundak secara
deras memancar di setiap sudut dan sisi
lobang.
Konon katanya lobang yang
digali tersebut adalah sebuah sumur tua
yang airnya secara turun-temurun tidak
akan pernah kering dan mampu
memberikan makna kehidupan bagi
orang-orang kampung masa lalu. Air
tersebut juga mampu memberikan
kesembuhan dengan berbagai jenis
penyakit yang diderita orang pada saat
itu.
Proses penggalian sudah
dilaksanakan dan terus diupayakan
hingga menghabiskan waktu yang cukup
lama, namun upaya tersebut mendapat
kendala yang cukup berat untuk
dilanjutkan. Mungkin belum dapat ijin
dan restu dari Yang Kuasa sehingga
tidak membuahkan hasil seperti apa
yang mereka harapkan. Akhirnya
terpaksa dihentikan.
Pada tahun 2002 pula, datang
rombongan dengan menggunakan 5
(lima) buah mobil taksi Colt L-300.
Rombongan itu datang secara
terorganisir berlabelkan massa
penziarah makam Wali Songo yang
kebanyakan berasal dari Martapura.
Namun diantaranya ada juga yang
berasal dari Sungai Danau, Tanah
Bumbu.
Tersebutlah yang namanya
Baseri yang asal-usulnya berasal dari
Loknyiur dan bermukim di Sungai
Danau. Ketika rombongan Baseri
berziarah ke Makam Wali Sunan Ampel
di Surabaya, tanpa diduga ada salah
seorang penjaga makam langsung
menyapa dan berucap, “ Hei Saudara !
Kenapa berziarah jauh-jauh datang
kesini dengan banyak menghabiskan
uang dan tenaga. Sementara makam
datu yang ada di kampung kamu sendiri
belum pernah diziarahi.”
Bagai disambar petir tersontak
bathinnya menganalisis kata-kata orang
tersebut. Seraya ia mengucap istighfar
tiga kali. Dilatar belakangi retorika
tersebut munculah ide para penziarah
untuk datang ke Loknyiur sebagai bagian
dari program perjalanan mereka guna
melengkapi pengalaman hiudp dan sisa-
sisa petualangannya. Karena dengan
segudang pengalaman berziarah,
rombongan mereka sempat mengajak
warga masyarakat Loknyiur untuk
bersama-sama melaksanakan haulan
secara kecil-kecilan dalam arti aruh
basalamatan seadanya.
Pada tanggal 7 Oktober 2004
lagi-lagi Loknyiur kedatangan sebanyak
3 (tiga) orang mengaku berasal dari
Palingkau, Kalimantan Tengah. Ketiga
orang tersebut terdiri dari dua orang
perempuan dan satu laki-laki. Kedua
orang perempuan tadi bernama Irus
dan Idah masih dalam satu keturunan
yang sama didampingi laki-laki yang
bernama Hadran dengan panggilan
akrabnya.
Berdasarkan silsilah dari garis
keturunan ketiga orang tersebut,
ternyata juga masih berdarah Loknyiur
yang sekian lama berdiam di kampung
orang. Dari silsilah tersebut, Idah, Inur,
dan Hadran datang membawa kisah
pengalaman hidupnya yang mungkin
orang lain tidak pernah mengalaminya.
Idah menceritakan bahwa ada saudara
kandungnya yang sejak bayi menghilang
(gaib) entah dimana dan siapa yang
membawanya sehingga tidak tahu
dimana rimbanya hingga sekarang ini.
Tapi sewaktu-waktu muncul
menemuinya dengan meminjam raga
Idah dan saudara-saudara kandung
lainnya, diantaranya akhir-akhir ini
mengajak untuk berziarah ke makam
tersebut.

Penulis : Ahmad H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar