“Ada seorang anak dari Kota Madinah
mengambil tangan Rasulullah saw. dan
beliau tidak menarik tangannya sampai
anak itu puas membawa tangan beliau
sekehendak hatinya” ( H.R. Ibnu Majah ).
Penekanan redaksi hadits pada kalimat
“beliau tidak menarik tangannya sampai
anak itu puas membawa tangan beliau
sekehendak hatinya” menurut penulis
merupakan pesan tersirat bagaimana Nabi
Muhammad tidak menafikkan
kecenderungan sifat anak-anak yang selalu
ingin bermain, meskipun beliau memiliki
kepentingan untuk mengajarkan adab atau
praktik ibadah lainnya.
Pada kisah lain, Nabi Muhammad menahan
sujud lebih lama karena kedua cucu
kesayangannya, Hasan dan Husain,
menaikki punggungnya pada saat beliau
sedang shalat. Meskipun nilai ritual shalat
sangat sakral, Nabi tidak ingin merusak
keceriaan kedua cucunya.
Setiap pendidik yang menjadikan Rasulullah
Muhammad saw. sebagai panutan dan
profil komprehensif seorang mahaguru
pendidikan, telah cukup terang-benderang
untuk menyadari bagaimana dunia
pendidikan di Indonesia tidak lagi
“menahan tangannya sampai anak-anak
puas membawanya sekehendak hati”.
Anak-anak Indonesia, utamanya di kota-
kota besar, menjadi kerumunan bocah
yang begitu sibuk luar biasa dan sangat
tergegas menjalani hari-hari mereka yang
penuh beban. Ransel besar “persiapan
masa depan” anak-anak ini penuh sesak
oleh berbagai agenda yang membuat
punggung mereka kian membungkuk.
Privat calistung, tumpukan pekerjaan
rumah, les menyanyi, les karate, jadwal
bermain biola, privat bahasa Inggris, dan
aktivitas belajar lainnya menjadi daftar
panjang kegiatan yang lebih sering terasa
sangat mengungkung dan menyiksa.
Tidak ada yang salah jika anak-anak usia TK
dapat membaca, menulis, dan berhitung,
asalkan caranya sesuai dan patut bagi
anak. Sesuai dengan ritmik dan tugas
perkembangannya. Sayangnya, masih
banyak guru TK kita yang “kurang rasa dan
kurang periksa” dalam melatih kepekaan
sebagai seorang guru. Mengajar anak-anak
membaca, menulis, dan berhitung tanpa
mengindahkan tugas-tugas perkembangan
yang tengah dijalani anak. Mengabaikan
pedagogi, melupakan perkembangan dan
keunikan anak sebagai anak. Anak-anak
dididik melalui konsep yang tidak
menumbuhkan pengalaman yang telah
dikonstruk dan dimiliki masing-masing anak
semenjak ia lahir. Pesan-pesan budaya,
sosio, historis, dinihilkan (D.U Faizah,
2009: 2).
Permasalahan menjadi lebih serius ketika
pengajaran yang tidak sesuai
perkembangan tersebut mengakibatkan
dampak yang berkelanjutan. Anak tidak
hanya menghadapi kesulitan ketika beban
pengajaran mereka terima namun juga
secara massif hal tersebut berakibat pada
kecakapan kognitif mereka.
Apabila diibaratkan, otak anak adalah
sebuah struktur bangunan yang masih
dalam proses konstruksi. Jika saat proses
konstruksi berlangsung bangunan atau
rumah tersebut mulai difungsikan, misalnya
diisi dengan barang-barang atau furniture,
bahkan sebagian ruangnya sudah dihuni,
hampir dapat dipastikan proses
pembangunannya akan terhambat.
Beberapa kasus menunjukkan, pada
penjejalan materi akademik usia anak yang
masih dini justru berakibat pada
penurunan kemampuan intelektualitas
secara bermakna di bangku perguruan
tinggi. Beberapa di antaranya berakhir
tragis karena harus mengalami drop out
(Tauhid Nur Azhar , 2011: 122).
Keprihatinan seputar hal ini sebenarnya
telah muncul di berbagai belahan dunia
sejak seabad lalu. Leo Tolstoy, sastrawan
klasik dunia asal Rusia membuat sebuah
pemberontakan intelektual dengan
mendirikan sebuah sekolah yang menjadi
tempat anak-anak benar-benar
menemukan dunianya pada awal tahun
1850-an.
Pengarang yang namanya menyejarah lewat
novel “Perang dan Damai” dan “Anna
Karenina” itu sangat prihatin dengan
perkembangan institusi sekolah yang
berubah menjadi lembaga yang memenjara
imajinasi bagi anak-anak.
Kecintaannya kepada dunia anak didorong
oleh pemahamannya bahwa kebebasan,
termasuk di dalamnya kebebasan
berimajinasi, dan berekspresi adalah hak
setiap manusia, termasuk anak-anak.
Institusi sekolah, sebagai lembaga
pendidikan dalam keadaan tertentu
seringkali menghilangkan kebebasan anak
dan membelenggu keluasan imajinasi
mereka. Ini yang ditentang Tolstoy. Inilah
yang kemudian mendorongnya
menciptakan sebuah sekolah di mana anak-
anak bisa bebas mengekspresikan masa
kanak-kanaknya sesuai dengan jiwa mereka
(A. Fahrurodji, 2004: 3).
Mengapa Al Qur’an (dan kitab agama lain)
ditaburi begitu banyak kisah masih menjadi
pembahasan. Seolah Kitabullah sedari
pertama turun telah menjawab kebutuhan
metodologi yang tepat dalam penyampaian
ajaran Langit,yakni melalui kisah.
Dunia anak adalah semesta bermain dan
berimajinasi. Jika kita ingin menyampaikan
pesan dan pembelajaran kepada anak,
maka kita semestinya memasuki semesta
mereka dan bukan menarik mereka ke
dunia kita; dunia orang dewasa yang
serbalinier dan (bergaya) masuk akal.
Maka, naskah anak yang baik, semestinya
berusaha mengisi kekosongan itu.
Kekosongan gaya penceritaan yang
memasuki dunia anak, dan bukan menarik
anak ke dunia orang dewasa. Kisah-kisah Al
Qur’an dengan berbagai keajaibannya,
adalah sebuah ruang yang sangat lega bagi
imajinasi anak-anak.
Di dunia yang hanya bisa diselami oleh
anak-anak, cerita anak membagi kisah
kepahlawanan, keharuan, keromantisan,
kesungguhan, dan aneka pembelajaran
hidup lainnya.
Sumber: Tasaro GK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar