Saat membahas materi Ziarah Wali Songo pada pokok bahasan sejarah Budaya Islam kelas IX, "Tokoh Penyebar Islam di pulau Jawa" bersama siswa. Timbul sebuah tema diskusi menarik. Seorang siswa saya melontarkan pertanyaan apakah ziarah kemakam wali suatu perbuatan syirik?
Kemudian bermacam-macam pendapat dari siswa mengalir sesuai pengetahuan dan persepsi mereka masing masing.
Saat memberikan pandangan ke siswa sy teringat dg peristiwa yg baru2 ini terjadi di Jogjakarta. Yakni penghancuran Makam cucu Sultan
Hamengku Buwono VI oleh orang- bercadar karena dianggap sumber kesyirikan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya
memiliki tradisi ziarah ke makam sebagai
penghormatan dan bukan sebagai kegiatan
musyrik yang berlawanan dengan aqidah
Islam. Tradisi yang telah menjadi budaya
itu harus dihormati dan sekaligus didukung
sebagai rasa cinta kepada leluhur. Ziarah ke
makam merupakan kearifan
lokal yang mampu menguatkan pertautan
batin sesama manusia (‘alaqoh ruh). Lebih
dari itu, mereka yang melakukan ziarah
bisa mengambil pelajaran dari perilaku dan
tauladan yang dilakukan para pendahulu
atau tokoh yang diziarahi. Tradisi itu juga
sebagai bentuk dzikir yaitu mengingatkan
mereka yang masih hidup suatu saat akan
kembali kepada Sang Pencipta".
Masyarakat Banjar juga merupakan pemelihara tradisi ziarah kubur. Kalau tradisi tersebut dianggap syirik maka kalau bgitu pemahamannya gawat. Datang
ke kubur nymbah kubur, datang ke
borobodor, nyembah candi, hormat
bendera= nyembah bendera, menghormati abah mama menyembah manusia.dst.
Jadi upaya penghancuran makam dpt memicu konflik horizontal. Sebab masyarakat. Terutama ahli waris tdk akan terima makam nenek moyangnya dirusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar