Laman

Sabtu, 31 Agustus 2013

MODEL PENDIDIKAN MASYARAKAT JEPANG

Sambil Menunggu Jam masuk kelas sy iseng iseng membuka facebook diruang pribadi kepala madrasah. Memang pada awalnya mau melihat status status dari fp bola. kemudian mata saya tertuju pada salah satu status teman fb sy Debit Ridhawati yang menceritakan bahwa
Anaknya bersekolah di salah satu Sekolah
(SDN) kota Tokyo, Jepang. beberapa waktu lalu, dia
menghadiri acara “open school” di sekolah
Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SDN yang
tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolah gratis.
lokasinya di sekitar perumahan.Pada kesempatan itu orang
tua diajak melihat bagaimana anak-anak melakukan pembelajaran.
orang tua diperbolehkan masuk ke dalam kelas, menyaksikan proses belajar mengajar mereka. Semua bersemangat
karena mereka meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tak
bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik
anak-anaknya.Melihat bagaimana ketangguhan warga
Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka saling
memerhatikan kepentingan orang lain di saat kesulitan.
bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam setiap
aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa
kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang
default”, namun pastilah “by design”. Ada satu model
pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan
terus menerus di masyarakat.Dan saat Saudari Debit Ridhawati mengikutu bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses tersebut
terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah jepang
menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. sebagai fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada pelajar Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yakni pelajaran
anak tentang moral. Namun nilai moral diselipkan disetiap
mata pelajaran dan kehidupan.Sejak masa lalu agama
utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confucius disertai
spirit samurai dan bushido, memberi landasan utk
pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang mereka terapkan
adalah bagaimana menaklukan diri sendiri dan pemahaman moral
yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat membantu
menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.Anak dididik
untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan juga kejujuran. Anak
dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi dan harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistemo
nilai moral melalui empat aspek, yaitu
Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self),
Menghargai Orang Lain (Relation to Others)
Menghargai Lingkungan dan Keindahan
(Relation to Nature & the Sublime), serta
menghargai kelompok dan komunitas
(Relation to Group & Society). Keempatnya
diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak
sehingga membentuk perilaku
mereka.Pendidikan di SD Jepang selalu
menanamkan pada anak-anak bahwa hidup
tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam
bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan
orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial.
Tak heran kalau kita melihat dalam
realitanya, masyarakat di Jepang saling
menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya
maupun bermasyarakat, mereka saling
memperhatikan kepentingan orang lain.
Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak
mereka berada di tingkat pendidikan
dasar.Empat kali dalam seminggu, anak saya
kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga. Ia harus membersihkan dan
menyikat WC, menyapu dapur, dan mengep
lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali,
harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.
Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan
menghormati orang lain.Kebersahajaan juga
diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak
sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting da
nilai materi. Mereka hampir tidak pernah
menunjukkan atau bicara tentang materi.
Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang
membawa handphone, ataupun barang
berharga. Berbicara tentang materi adalah
yang memalukan dan dianggap rendah di
Jepang.Keselarasan antara pendidikan di
sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan
rumah dan masyarakat juga penting. Apabil
anak di sekolah membersihkan WC, maka
otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apab
anak di sekolah bersahaja, maka orang tua
rumah juga mencontohkan kebersahajaan.
Hal ini menjadikan moral lebih mudah
tertanam dan terpateri di anak.Dengan kata
lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang
diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru
mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian
sang anak.Saat makan siang tiba, anak-anak
merapikan meja untuk digunakan makan
siang bersama di kelas. Yang mengagetkan
adalah, makan siang itu dilayani oleh
mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa
anak pergi ke dapur umum sekolah untuk
mengambil trolley makanan dan minuman.
Kemudian mereka melayani teman-temanny
dengan mengambilkan makanan dan
menyajikan minuman.Hal seperti ini
menanamkan nilai pada anak tentang
pentingnya melayani orang lain. Dengan demikian,
apabila anak-anak terbiasa melayani,
sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti
nalurinya melayani masyarakat, bukan mala
minta dilayani. Siapapun sebagai orang tua andai
kebetulan melihat sistem pendidikan dasar
SD Negeri Jepang, maka pastilah akan tercenung. Mata
pelajaran yang menurut kita “berat” dan
kerap di-“paksa” harus hafal di SD/MI kita, tidak
terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang
dipikir cukup berat hanyalah huruf Kanji
Sementara, selebihnya adalah penanaman
nilai.Besarnya kekuatan industri Jepang,
majunya perekonomian, teknologi canggih,
hanyalah ujung yang terlihat dari negeri
Jepang. Di balik itu semua ada sebuah
perjuangan panjang dalam membentuk
budaya dan karakter. Ibarat pohon besar
yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya
tetap dari satu petak akar. Dan akar itu,
adalah pendidikan dasar.Sistem
pendidikan Jepang seperti di atas tadi,
berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang
ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di
semua sekolah hingga pelosok negeri.
Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah
yang mengajarkan pembentukan karakter.
Ada sekolah mahal yang bagus. Namun
selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan
sebagai sistem nasional, anak akan mengalami
kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalah lagi
kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian
dari mencari gengsi, maka satu nilai moral
sudah berkurang di sana.Di Jepang, masalah
pendidikan ditangani oleh Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan
Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut
dengan Monkasho. Pemerintah Jepang
mensentralisir pendidikan dan mengatur
proses didik anak-anak di Jepang. MEXT
menyadari bahwa pendidikan tak dapat
dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam
proses pendidikan, anak diajarkan budaya
dan nilai-nilai moral.Mudah-mudahan
dikeluarkannya kata “Budaya” dari
Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan”
sehingga “hanya” menjadi Departemen
“Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan
berarti bahwa pendidikan kita mulai
melupakan “Budaya”, yang di dalamnya
mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar adalah juga
membentuk budaya, moral, dan budi
pekerti, bukan sekedar menjadikan ana
anak kita pintar dan otaknya menguasai
ilmu teknologi. Apabila halnya demikian,
kita tak perlu heran kalau masih melihat
banyak orang pintar dan otaknya cerdas,
namun miskin moral dan budi pekerti.
Mungkin kita terlewat untuk
menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD/MI
dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita
untuk menghafal ilmu-ilmu penting lainnya.

Mudahan Tulisan ini bermanfaat bagi guru guru di Indonesia sbg bahan pembanding Tak Terkecuali untuk guru-guru Madrasah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar