Suatu hari di Benteng Tundakan,
Awayan. Semilir angin pegunungan
seakan menentramkan bumi dari
sengatan matahari yang membakar. Ada
di dalam benteng Tumenggung Jalil,
Pangeran Miradipa, Tumenggung Naro,
Angkawaya (pejuang wanita), bersama-
sama 500 rakyat pejuang. Tundakan
mendapat kehormatan hari itu karena
pemimpin utama rakyat Banjar,
Pangeran Antasari, kebetulan datang
berkunjung.[1] Akan tetapi pada saat
yang sama Tundakan juga kedatangan
“tamu” yang lain. Mereka adalah 200
lebih tentara Belanda di bawah
pimpinan Kapten Van Langen dan
Kapten Van Heyden. Tuan rumah segera
“menjamu” mereka dengan tembakan
gencar dari 30 pucuk lila, beberapa
pucuk bedil dan pamoras, selebihnya
dengan senjata-senjata tradisional.
Pertempuran pun pecah. Letusan
senapan, dentum meriam, dan desing
peluru berpadu dengan erangan korban
yang berjatuhan. Ketika pasukan
Belanda tengah fokus pada perlawanan
sengit dari dalam benteng, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh munculnya
sesosok pejuang dengan sekelompok
pengikutnya yang langsung menerjang
ke barisan mereka. Pejuang itu
mengamuk. Pekik jihadnya seakan
seirama dangan kelebatan parangnya
yang menyambar ke segala arah. Dialah
Tumenggung Jalil. Seperti pertempuran-
pertempuran lain dalam menghadapi
kekuatan pribumi, pada Pertempuran
Tundakan pun pihak Belanda memiliki
persenjataan yang lebih unggul. Namun
mungkin karena konsentrasi mereka
terpecah oleh perlawanan sengit dari
dalam sekaligus dari luar benteng,
pasukan Belanda terpaksa mundur dari
Tundakan.[2] Hanya saja kemenangan
pihak Banjar ini rupanya merupakan
pertempuran terakhir bagi Tumenggung
Jalil. Seusai pertempuran, kawan-kawan
seperjuangannya menemukan jasad sang
tumenggung jauh di luar benteng, ada
di antara tumpukan mayat serdadu
Belanda yang tewas oleh amukannya.
Sesudah luka-lukanya dibersihkan,
mayatnya kemudian dimakamkan secara
rahasia di suatu tempat tidak jauh dari
benteng.[3] Di mata Belanda, Jalil
rupanya dipandang sebagai musuh yang
dosa-dosanya tak terampuni. Untuk itu
mereka memburunya hingga ke liang
kubur. Beberapa tahun setelah
kematiannya, seorang pengkhianat
memberitahukan letak kubur Jalil. Para
kaki tangan Belanda segera
membongkarnya. Jenazah Jalil
“dieksekusi”. Kepalanya diambil untuk
kemudian disimpan di Museum Leiden
Belanda sebagai salah satu piala
kemenangan, simbol kejayaan
kolonialisme masa lalu. Sementara sisa
jasadnya dihancurkan. Gazali Usman lalu
menyebutnya sebagai … “Pejuang
Bangsa yang tak memiliki kubur.”[4]
Pengantar Dalam studi sejarah Banjar,
tokoh Jalil atau Tumenggung Jalil dan
Pemberontakan Banua Lima (gerakan
sosial yang ia pimpin) sebenarnya telah
sering ditulis orang, kendati ia sekedar
diposisikan sebagai tokoh atau tema
“pinggiran” untuk menunjang tema
utama (biasanya tentang Perang Banjar).
Penempatan seperti ini membuat
pemahaman tentang ketokohan dan
peran sejarahnya cenderung terjebak
pada sudut pandang heroisme semata.
Jika mengacu Helius Sjamsuddin, tipe
penulisan “nasionalistik” semacam ini
terlalu simplistis dan akan merugikan
suatu diskusi sejarah yang serius.[5]
Belum ada misalnya, yang
menjadikannya sebagai sebuah
fenomena historis yang terkait erat
dengan nilai-nilai kultural lokal yang
mem-background-nya. Belum ada pula
yang secara khusus mengkaji
Pemberontakan Banua Lima yang
dipimpinnya dari perspektif ilmu sosial,
yaitu dengan menggunakan teori-teori
gerakan sosial. Nah, tulisan ini hendak
mengisi ruang kosong tersebut.
Penyebutan Pemberontakan Banua Lima
sebagai gerakan jaba, untuk
menunjukkannya sebagai sebuah
gerakan dari kaum jaba (golongan
rakyat biasa) dan dipimpin oleh seorang
tokoh jaba bernama Jalil. Sesuai dengan
nama pemimpinnya, gerakan itu dalam
pembahasan ini juga akan disebut
gerakan Jalil. Latar Belakang Sosio Politis
Berdasarkan forklor populer di daerah
ini[6], masyarakat Banjar melacak asal-
usul mereka ke masa legendaris,
Kerajaan Negara Dipa. Pada satu babak
dikisahkan, ketika Ampu Jatmika akan
wafat ia memanggil Ampu Mandastana
dan Lambung Mangkurat. Dalam
sekaratnya penguasa pertama itu
berpesan kepada kedua putranya
tersebut agar jangan menggantikannya
sebagai raja. Sebab bencana dan
malapetaka akan menimpa jika orang
bukan turunan bangsawan seperti
mereka menerima kehormatan sebagai
raja. Ampu Jatmika sendiri yang bergelar
Maharaja di Candi, meski ia yang
membangun Negara Dipa dan berkuasa
di kerajaan itu, tetapi ia meletakkan
kekuasaan tertinggi pada sepasang
patung yang ada di Candi Agung sebagai
wakil dewa. Sedangkan ia hanyalah
bertindak selaku pelaksana saja. “Etika
politik” ini berakar dari konsepsi
Hinduisme sebagai keyakinan yang
dianut pada masa itu. Dihikayatkan,
Ampu Jatmika adalah anak dari Saudagar
Mangkubumi. Dari nama ayahnya itu
dapat diketahui, keluarga pendiri Negara
Dipa ini memang tidak berkasta ksatria
(kaum bangsawan), melainkan berkasta
waisya (golongan pedagang).
Selanjutnya kata Ampu Jatmika, apabila
ia meninggal hendaklah patung di candi
itu dilemparkan ke laut, dan kedua
putranya dititahkan untuk bertapa
sampai menemukan raja manusia yang
ditunjuk dewa. Segera setelah Ampu
Jatmika mangkat, Lambung Mangkurat
dan Ampu Jatmika melaksanakan wasiat
sang ayahanda. Dari pertapaannya di
sebuah pusaran air yang dalam,
Lambung Mangkurat menemukan Putri
Junjung Buih yang kemudian ditahtakan
sebagai raja putri di Negara Dipa. Putri
ini lalu dikawinkan dengan seorang
Pangeran Majapahit bernama Raden
Putra yang kemudian juga ditahtakan
sebagai raja dengan gelar Pangeran
Suryanata. Dari pasangan inilah tercipta
kaum bangsawan Banjar, yang menjadi
raja-raja Negara Dipa berikutnya, dan
raja-raja di Negara Daha, serta Kerajaan
Banjar sebagai kerajaan-kerajaan
lanjutan. Menurut tradisi, kepada
merekalah masyarakat Banjar[7]
meletakkan kesetiaan dan pengabdian
dalam tata hidup berkerajaan. Proses
terbentuknya dinasti raja di atas sejalan
dengan konsep deva raja seperti yang
kerap dikemukakan M.Z. Arifin Anis,
bahwa hanya kaum bangsawan yang
menurunkan raja-raja sebagai wakil
dewa di dunia.[8] Telaah Husni Abar
atas Hikayat Banjar menyimpulkan, sejak
saat itu masyarakat Banjar
terstratifikasikan ke dalam dua
golongan, yaitu golongan tutus (kaum
bangsawan) dan golongan rakyat biasa
(kaum jaba).[9] Anis mengakui,
fenomena ini mirip dengan konsep
kawula gusti di Jawa, di mana
masyarakat terbelah menjadi dua
lapisan, penggede dan wong cilik.
Namun Sejarawan FKIP Unlam ini juga
menunjukkan adanya perbedaaan dalam
penerapannya di Banua. Jika di Jawa hak
memerintah melulu ada pada raja
sebagai pemilik wahyu dan pulung,
maka di daerah ini kedudukan raja lebih
merupakan kedudukan magis religius
(cenderung sebagai simbol semata).
Sementara kekuasaan yang bersifat
profan (tereprentasikan pada jabatan
mangkubumi) merupakan hak orang
jaba yang memiliki kecakapan dan
pengetahuan yang didukung oleh
pengalaman.[10] Kepeloporan Ampu
Jatmika dan dominannya peran Patih
Mangkubumi Lambung Mangkurat dalam
tata pemerintahan Negara Dipa
memperlihatkan dominasi kaum jaba
dalam kekuasaan duniawi, seperti
pendapat Anis di atas. Sedangkan raja-
raja pada masa itu serupa
kedudukannya dengan sepasang patung
pada saat Ampu Jatmika berkuasa, yaitu
berposisi sebagai wakil dewa yang
melegitimasi kekuasaan manusia (kaum
jaba) di dunia. Tahta dalam konteks ini
lebih merupakan kedudukan religius,
yaitu sebagai sumber legitimasi politik.
Meskipun Kerajaan Banjar yang muncul
pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam,
namun tradisi politik yang diwariskan
dari masa Hindu (Negara Dipa) ternyata
tetap kuat mewarnai proses
pembentukan dan perjalanan kerajaan
baru tersebut. Sampai datangnya masa
Raja Banjar ke-6 Sultan Saidullah, di
mana kedudukan mangkubumi dijabat
paman sultan sendiri[11], peranan kaum
jaba sebenarnya cukup signifikan di
dalam tata pemerintahan. Sama halnya
dengan pembagian kekuasaan pada
masa Negara Dipa, sejak raja pertama
Sultan Suriansyah, jabatan mangkubumi
diberikan kepada seseorang dari
kalangan rakyat biasa (kaum jaba) yang
cakap, mampu dan berdedikasi.[12]
Dalam lingkup lebih sempit, kita akan
berusaha menyingkap pengaruh tradisi
politik ini di dalam gerakan Jalil.
Penindasan Ekonomi Gerakan Jalil adalah
sebuah gerakan rakyat yang muncul
pada pertengahan abad ke-19 di Banua
Lima, sebuah daerah Kerajaan Banjar
yang meliputi daerah Negara, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai dan Kelua.[13] Ia
merupakan daerah setingkat provinsi
yang subur tanahnya[14] paling padat
dan makmur penduduknya,[15]
karenanya ia merupakan daerah
pertanian utama dan sumber pajak
terbesar. Idwar Saleh[16] menyebutnya
sebagai gudang padi kerajaan.
Munculnya gerakan Jalil tidak bisa
dilepaskan dari situasi masa itu, di mana
penetrasi politik Belanda yang
berlangsung sejak akhir abad ke-18
semakin menemukan efektifitasnya di
Kerajaan Banjar. Melalui kontrak demi
kontrak yang ditandatangani kedua
pihak, status kerajaan akhirnya tereduksi
menjadi setingkat vasal saja di dalam
sistem pertuanan Belanda. Wilayah
kerajaan yang disebut Tanah Sultan
semakin dipersempit seiring dengan
diperluasnya Tanah Gubernemen
(sebutan untuk bekas wilayah kerajaan
yang diperintah langsung Belanda). Ini
berhubungan dengan meningkatnya
grafik kepentingan ekonomi kolonial,
khususnya sejak ditemukan dan
diproduksinya tambang batubara di
daerah ini. Dengan wilayah yang
semakin terdesak ke pedalaman,
Kerajaan Banjar terpaksa kembali
bercorak agraris seperti masa Negara
Dipa. Padahal beberapa abad
sebelumnya, kerajaan ini dikenal sebagai
negeri maritim. Oleh karena telah
berpaling pada sistem agraris, Kerajaan
Banjar menjadi sangat bersandar pada
sistem pajak untuk menghidupi keraton.
Aneka pajak yang dipungut dari rakyat,
meliputi; pajak kepala, cukai uang
sepersepuluhan, sewa tanah, pajak
perahu, serta pajak penggalian intan dan
emas. Pajak kepala ditarik dari tiap-tiap
keluarga, besarnya tergantung jumlah
anggota keluarga. Untuk penduduk yang
sudah menikah, pajak kepala ditentukan
sebanyak f 4,30 dan bagi yang belum
menikah f 3. Bagi yang hanya mampu
membayar separo, apalagi yang tidak
mampu membayar, harus melakukan
kerja wajib kepada sultan.[17] Dengan
menyempitnya wilayah kekuasaan, maka
berkurang pula sumber penghasilan
keraton. Untuk menutupinya, pihak
kerajaan terpaksa menaikkan pajak dua
kali lipat. Kenaikan itu dimulai pada
masa Sultan Sulaiman (1808-1825) dan
dinaikkan lagi dua kali lipat oleh Sultan
Adam (1826-1857).[18] Oleh karena
bertanah subur dan berpenduduk
padat, maka dengan sendirinya
penduduk Banua Lima lah yang
kebanyakan terkena pajak.[19] Tekanan
pajak yang berat itulah yang
menyebabkan rakyat menjadi sengsara
dan menderita, sehingga pada tahun
1854 sebanyak 150 orang kepala
keluarga dari penduduk Amuntai
menemui Residen van der Ven di
Banjarmasin untuk mengadukan nasib
mereka. Jalil, pemimpin mereka,
memohon agar mereka diijinkan pindah
ke wilayah kekuasaan Belanda, tapi
residen menolaknya.[20] Fenomena ini
menarik dikaji, karena rakyat Banjar–
minimal sebagiannya–ternyata lebih
suka tinggal di wilayah Belanda daripada
di wilayah yang diperintah rajanya
sendiri. Di samping yang telah
disebutkan, aspek lain dari masyarakat
Banua Lima diungkapkan oleh Helius
Sjamsuddin, bahwa selain mayoritas
petani, mereka juga dikenal sebagai
pengrajin (terutama orang Negara) dan
pedagang yang ulet. Mereka umumnya
adalah penganut Islam yang taat. Dari
sudut pandang Belanda, orang-orang
Banua Lima mudah sekali dibangkitkan
untuk berontak, terutama jika
perlawanan dikaitkan dengan fanatisme
Islam. Di samping itu, penduduk di sini
memiliki ikatan kultural yang kuat
dengan kerajaan. Bahkan, jauh sesudah
Kerajaan Banjar dihapus Belanda
(1860), tempat ini masih dipandang
sebagai “tanah subur” bagi kaum royalis
yang mempropagandakan legitimitas
untuk merestorasi kerajaan tersebut.
[21] Selama bertahun-tahun terdapat
perasaan frustasi di kalangan rakyat
Banua Lima terhadap kepala daerah
mereka, Kiyai Adipati Danuraja, karena
tindak kesewenang-wenangan dan
penghisapan.[22] Namun
kepemimpinannya ditopang legitimitas
politik yang kuat, karena ia adalah
kerabat istana. Ayahnya adalah
penduduk kelahiran Amuntai yang
karena berjasa pada kerajaan, maka
sultan memberinya gelar pembakal
sehingga terkenal sebagai Pembakal
Karim.[23] Dari hasil perkawinannya
dengan saudari Nyai Ratu Komala Sari
(Permaisuri Sultan Adam), pembakal itu
memiliki dua orang anak, Jenal (Zainal?)
dan Aluh Arijah. Sebagai ipar sultan,
Pembakal Karim juga diberi gelar Kiyai
Ngabehi Jaya Negara, sedangkan sebagai
kemenakan sultan, ‘Zainal’ diberi gelar
Kiyai Adipati Danureja. Kedua anak
beranak ini diberi tugas oleh sultan
mengatur pemerintahan Banua Lima,
tetapi pemerintahan mereka tidak
disenangi rakyat karena sifatnya yang
sewenang-wenang. Danureja
mengorganisir perampokan lada dan
perbudakan di daerah Pasir. Dalam
menjalankan kekuasaan, ia juga
memberlakukan hukuman mati kepada
terdakwa, padahal menurut aturan yang
berlaku: “sembarang orang baik radja2
(para penguasa lokal) tiada boleh sekali
mengerdja orang hukum mati meski
bagaimana dia punya kesalahan
melainkan sultan sendiri jang boleh
mengerdja hukum mati di atas orang
jang sampai hukumannya…”[24](bold
oleh penulis). Oleh Danureja dan
keluarganya, tanah-tanah pribadi milik
penduduk dapat diambil sesuka hati dan
ia juga kerap menetapkan denda-denda
yang tak adil serta berat sekali. Kepada
petani dinaikkannya pajak kepala
sebanyak dua kali lipat yang dibayar dua
kali setahun.[25] Di samping itu ia juga
menyewa para penjahat untuk
membunuh musuh-musuhnya.
Walaupun jabatan Kiyai Adipati bukan
jabatan pusat, namun perlu diingat,
siapapun yang memerintah Banua Lima
berarti ia memegang “daerah terbasah”
seantero negeri. Bagi kerajaan, daerah
subur yang padat penduduk itu memiliki
arti penting sebagai penyumbang pajak
terbesar. Sebagai kerabat raja, tak
seorang pun yang berani menyentuh
Danureja. Satu-satunya orang yang
berani melawan Danureja adalah
sepupunya sendiri yang bernama Jalil.
[26] Ia seorang jaba, bukan turunan
bangsawan. Lahir sekitar tahun 1820 di
kampung Palimbangan, Amuntai.[27]
Sejak kecil Jalil dikenal pemberani dan
pendekar ilmu silat.[28] Meski
bersepupu dengan Danureja, Jalil adalah
bagian dari rakyat Banua Lima yang
menjadi korban kesewenangannya. Ia
begitu mendendam Danureja karena
ayahnya dihukum mati oleh penguasa
lokal itu, padahal seperti telah disebut,
hukuman semacam itu hanya boleh
dilakukan (hak prerogatif) sultan.
Pemberontakan Pecah Sementara itu di
Istana Banjar terjadi faksionalisme,
terutama antara kubu Pangeran Hidayat
melawan kubu Pangeran Tamjid,
sehubungan dengan penentuan calon
pengganti Sultan Adam. Salah satu asfek
politik dari Kontrak 1826 yang
ditandatangani Sultan Adam sendiri
menyebutkan, soal pergantian tahta
kerajaan harus dikonsultasikan dengan
Pemerintah Belanda: “Kapan datang
suatu masa hukum Alloh Sri Paduka
Sultan meninggalkan melainkan siapa
jang sudah kesukaan geburmin djadi
pangiran ratu lantas berdiri djadi
mengganti dia punja kedudukan Sultan
itu pegang keradjaan dan habis djadi
Sultan baru menundjuk dia punja
kesukaan akan pangiran2 jang djadi
ganti kedudukan pangiran ratu maka
tuan Sultan mesti dahulu minta
kesukaan kepada orang besar di Betawi
baru tuan Sultan itu turut adat
bagaimana dahulu2 mendjadikan nama
pangiran ratu itu serta diwartakan
kepada orang2 semuanja.”[29] Kondisi
ini memungkinkan Belanda melakukan
campur tangan sesuai dengan
kepentingan mereka. Malapetaka terjadi
ketika Sultan Adam wafat tahun 1857,
Belanda mengangkat Pangeran Tamjid
sebagai raja yang baru, meski almarhum
sultan melalui surat wasiatnya lebih
memilih Pangeran Hidayat. Dinamika
politik istana ini tak berpengaruh banyak
terhadap karir Danureja. Selaku pengikut
sultan, posisinya tetap kokoh di puncak
kekuasaan Banua Lima. Terlebih lagi
sultan baru ternyata juga melakukan
penindasan terhadap rakyat di sana.
Sesuai tradisi, penduduk Alabio, Sungai
Banar, dan Kelua setiap tahun
diwajibkan mengirim dua ratus orang
penduduknya untuk menjadi Pasukan
Pengawal Sultan.[30] Namun sejak
Tamjid naik tahta, mereka tak pernah
lagi mendapat bantuan makanan dan
imbalan atas tugas ini seperti masa
sebelumnya. Keberatan-keberatan
mereka tak dihiraukan sultan.[31] Pada
sisi lain, wafatnya Sultan Adam yang
dihormati rakyat itu, sedikit banyaknya
memberi dampak pada rakyat Banua
Lima. Jika sebelumnya mereka
cenderung menghindar (seperti niat
pindah mereka ke wilayah Belanda
tahun 1854) dari penindasan Danureja,
ini mungkin terkait dengan rasa hormat
tersebut. Namun dengan kematian
sultan tua, mereka seakan tak lagi
melihat tembok tebal yang selama ini
dijadikan Danureja sebagai “tameng”
atas segala kesewenang-wenangannya.
Tidak heran apabila sejak itu pergerakan
rakyat di daerah ini mulai dijangkiti
gejala radikalisme. Pada bulan Juli 1858
serangkaian kerusuhan pecah di Banua
Lima.[32] Jalil dan pengikutnya menolak
membayar pajak kepala yang ditarik
Danureja pada bulan September. Kasus
ini segera dilaporkan Danureja kepada
sultan di Banjarmasin. Oleh sultan, Jalil
dipanggil sampai dua kali, tapi ia tak
pernah menggubrisnya. Ayah Danureja,
Kiyai Ngabehi Jaya Negara, mengancam
akan menggunakan kekerasan bila pajak
itu tidak dibayar. Ancaman ini dijawab
Jalil dan pengikutnya dengan memagari
rumah-rumah mereka sebagai benteng
pertahanan. Seorang bernama Kuncir
menghadap sultan dan menyatakan
sanggup menangkap dan membawa Jalil
hidup atau mati. Setelah diijinkan,
Kuncir segera berangkat ke Amuntai
bersama enam orang Panakawan. Tapi
justru mereka yang kemudian mati
dalam perkelahian melawan Jalil dan
pengikutnya. Kiyai Adipati Danureja
kemudian dengan 2000 orang pasukan
berangkat ke Batang Balangan untuk
menghukum Jalil yang dipandang sebagai
pemberontak kerajaan. Namun ekspedisi
ini terpaksa dibatalkan karena dilarang
Residen di Banjarmasin. Residen
memandang tindakan semacam itu
menyalahi Perjanjian 1826 yang di
antaranya ada menyebutkan,
pemberontakan dalam negeri adalah
kewenangan Belanda untuk
menumpasnya[33]. “Geburmin
Nederland berdjandji akan menolong
dengan dia punja alat sama Sri Paduka
Sultan barangkali ada suatu masa orang
mana2 baik orang lain2 negeri jang mau
mengerdja djahat sama Sri Paduka
Sultan….”[34] Gerakan Jalil di Tengah
Intrik Politik Istana Frustasi menghadapi
Pemberontakan Banua Lima, sultan
akhirnya memerintahkan Pangeran
Hidayat yang saat itu telah diangkat
selaku mangkubumi untuk
menyelesaikan kasus tersebut.
Sesampainya di Amuntai, mangkubumi
bermalam di rumah Jalil dan menerima
pengaduan rakyat tentang Danureja
selama ini. Untuk itu Hidayat
berkeputusan memecat Danureja dan
kemudian mengangkat Jalil selaku mantri
mangkubumi dengan gelar Kiyai Adipati
Anom Dinding Raja, dan kepadanya
diberi simbol-simbol kebangsawanan
berupa pedang dan tombak berlilit.
Atribut mantri ini diperkuat sebuah
surat perintah agar ia bertindak atas
nama mangkubumi, serta diberi pula
sebuah cap mangkubumi. Manuver
politik Hidayat di atas jelas dapat dibaca
sebagai upaya menaikkan posisi
tawarnya di dalam intrik politik melawan
Sultan Tamjid yang didukung Belanda.
Hidayat selaku mangkubumi memang
mempunyai hak eksekutif untuk
mengambil tindakan semacam itu di
dalam proses berkerajaan.[35] Di pihak
Jalil, pengangkatannya selaku mantri
mangkubumi dengan sendirinya
membuat gerakan yang dipimpinnya
terlegitimasikan. Ia dan pengikutnya
yang sebelumnya diidentifikasi sebagai
pemberontak, kini muncul menjadi
kekuatan resmi. Seiring dengan jatuhnya
kendali pemerintahan Banua Lima ke
tangannya, pengaruhnya pun meluas,
bahkan menembus batas-batas Banua
Lima. Pada permulaan Maret 1859
penduduk daerah Para sampai Banua
Belimbing, dan penduduk Balangan
sampai Tabalong mengakui kekuasaan
Jalil selaku mantri mangkubumi. Dengan
bertambah kuatnya kedudukan Jalil yang
merepresentasikan kekuasaan
mangkubumi, maka pengaruh sultan
pun habis sama sekali di daerah ini.[36]
Tersingkirnya Hidayat dari tahta ternyata
tidak menghentikan persaingannya
dengan Sultan Tamjid, dan ini
terefleksikan pada gerakan Jalil.
Sebelumnya gerakan ini sangat bercorak
lokal dengan penguasa Banua Lima
sebagai sasaran, namun dengan
keterlibatan Hidayat di dalamnya,
gerakan rakyat itu mulai dijangkiti ide-
ide revolusioner terhadap kedudukan
sultan sendiri. Terbukti, beberapa bulan
sesudah pecahnya Perang Banjar (28
April 1859), para ulama dan rakyat
Amuntai (peserta gerakan Jalil)
menobatkan Pangeran Hidayat sebagai
Raja Banjar dengan gelar Sultan
Hidayatullah Halilullah, sesuai wasiat
Sultan Adam.[37] Gerakan Jalil Dalam
Perang Banjar Seperti halnya potensi
rakyat Banjar lain pada awal tahun
1859, gerakan Jalil pun akhirnya ikut
terseret ke dalam huru-hara terbesar di
Kalimantan waktu itu, yakni Perang
Banjar. Adalah Pangeran Antasari yang
berperan dalam mengitegrasikan
gerakan rakyat Banua Lima ke dalam
front pribumi versus Belanda. Tidak
diketahui pasti, kapan sebenarnya
Antasari datang ke daerah subur ini.
Namun terdapat keterangan ketika pada
27 Maret 1859 Sultan Tamjid
mengancam akan menangkap pangeran
itu karena ia dicurigai telah
bersekongkol dengan Aling, pemimpin
rakyat Muning (Tapin), untuk
memberontak kepada sultan. Ancaman
itu dibalas Antasari dengan jawaban
menantang seraya terus mematangkan
persiapan perang bersama Aling. Baru
setelah ini ia berangkat ke Banua Lima
untuk menemui Jalil di Amuntai guna
mendapatkan dukungannya.[38]
Apapun halnya, Antasari rupanya
berhasil membawa Jalil dan pengikutnya
kepada akar permasalahan. Bahwa,
segala penindasan yang selama ini
mereka terima dari penguasa lokal,
sesungguhnya tidak lepas dari politik
kolonialisme Belanda di Banua Banjar.
Semakin sempitnya wilayah kerajaan
yang terus digerogoti Belanda
menyebabkan para penguasa lokal tak
punya pilihan lain kecuali
mengeksploitasi rakyatnya sendiri, demi
eksistensi dan prestise keraton.
Pemahaman akan hal ini dengan
sendirinya menumbuhkan kesadaran
nasionalistik di dalam gerakan Jalil yang
sosialistik. Lalu pena sejarah pun rajin
menuliskan kepahlawanannya. Bersama
Antasari, Jalil berusaha menutup Banua
Lima sebagai lumbung padi kerajaan,
sehingga barang pangan tak bisa masuk
ke Banjarmasin dan Marabahan, dua
tempat di mana terdapat pusat
pemerintahan kolonial. Petugas-petugas
cukai sultan diusir, sehingga pajak lalu
lintas barang dari Margasari dan negara
jatuh ke tangan mereka.[39] Mungkin
karena inilah pada 13 April 1859 sultan
melaporkan kepada Residen Von
Bentheim, bahwa Jalil telah menahan
delapan orang barisan-nya.[40] Dua
hari setelah itu, tanggal 15 April, dalam
suratnya yang sangat rahasia ke Batavia,
residen diantaranya melaporkan, bahwa
semua pemasukan dari tempat-tempat
pemungutan pajak di Tanah Sultan telah
diambil alih oleh para pemberontak.[41]
Kemungkinan masih atas instruksi
Antasari ketika Jalil dikabarkan, bahwa ia
mengusahakan kepala Dusun Hulu
Tumenggung Surapati, penduduk
Marabahan, dan Sultan Pasir Pangeran
Kesuma, agar memihak kepadanya.[42]
Tentang kenapa harus Jalil yang
mengemban tugas ini, mungkin karena
ia dianggap memiliki akses ke daerah
Dayak tersebut. Sebab, seperti yang
dilaporkan H.G. Maks, Jalil memiliki
hubungan keluarga dengan Pembakal
Sulil, salah seorang kepala dari Tanah
Dayak dan Dusun. Idwar Saleh
menyebut hubungan Jalil dan Sulil
adalah ipar.[43] Khusus dalam kaitan
perang, Jalil memang terkesan lebih
dekat dengan Antasari, bahkan terdapat
petunjuk ia mati sebagai “martir”
pangeran itu. Namun kedekatannya
dengan Hidayat tetap terjaga. “Sultan”
itu bahkan sempat memberinya lagi
gelar Tumenggung Macan Negara[44],
sebuah gelar monumental bagi Jalil.
Sebab, sejak itu ia lebih dikenang
sebagai Tumenggung Jalil. Jalil adalah
Pejuang Banjar yang menjadikan sungai,
hutan dan gunung di daerah Amuntai,
Tabalong, dan Balangan sebagai medan
gerilya yang sukar ditaklukkan musuh. Ia
bahkan sempat memberi Belanda
kekalahan dalam beberapa
pertempuran. Namun setelah kurang
lebih tiga tahun mengarungi masa
perjuangannya nan heroik, Jalil akhirnya
harus tunduk pada “takdir sejarah”
bahwa ia berada pada pihak yang kalah.
Pejuang jaba ini (sebagaimana tergambar
pada awal makalah) gugur pada tanggal
24 September 1861 ketika
mempertahankan Benteng Tundakan di
Awayan dari serbuan serdadu Belanda.
[45] Gerakan Jalil Dalam Persfektif
Gerakan Sosial Pada sebuah tulisannya,
Yusliani Noor menyatakan empat
komponen yang lazim sebagai pemicu
gerakan, antara lain; Struktur Ekonomi
Politik, Kepemimpinan, Ideologi, dan
Basis Massa.[46] Kita akan
menggunakan empat komponen ini
untuk menguak karakteristik gerakan
Jalil sebagai sebuah gerakan sosial. 1.
Struktur Ekonomi Politik Jika kembali ke
penjelasan di muka, dapat diketahui
pada abad ke-19 Kerajaan Banjar telah
berorientasi ke sistem pertanian, karena
kemaritimannya telah dirampas Belanda.
Kontrak 1826 dan 1846 berdampak
pada kaum bangsawan. Kian
menyempitnya wilayah kerajaan karena
diambil Belanda menyebabkan tanah-
tanah perkebunan (apanase) mereka
jadi berkurang. Obyek penderita
akhirnya jatuh pada petani[47] melalui
pelipatgandaan pajak yang dikenakan
pada mereka. Pada kondisi di atas,
terasa relevan apa yang dinyatakan
Bambang Subiyakto, bahwa pada tahap
historisnya muncul resistensi masyarakat
pedesaan yang merupakan menifestasi
rasa “keterjajahan” rakyat oleh penguasa
asing.[48] Dalam konteks gerakan Jalil,
jika pun pada awalnya pihak Belanda
justru hendak dituju sebagai tempat
menghindar atau berlindung dari
beratnya beban pajak dan penindasan
penguasa lokal, sebenarnya itu hanyalah
persoalan waktu. Ketika hakikat
kolonialisme telah disadari sebagai akar
permasalahan yang menimpa mereka,
maka muncullah gerakan Jalil dalam
wajah antagonisnya terhadap penguasa
asing tersebut. 2. Kepemimpinan Dalam
sebuah gerakan sosial, faktor
kepemimpinan memainkan peranan yang
sangat menonjol. Sebagai pemimpin
rakyat yang tinggal di pedalaman, Jalil
oleh M.Z. Arifin Anis dikatagorikan
sebagai salah seorang elit tandingan.
Kemunculan elit tandingan menurut Anis
seiring dengan merosotnya elit istana
[49] dan melemahnya kelas elit ini
dalam pandangan Paige menjadi sebab
pecahnya sebuah revolusi.[50] Sejalan
dengan merosotnya elit istana yang
terepsentasikan pada Sultan Tamjid dan
Danureja, maka kedudukan elit
tandingan semakin kokoh sebagai
patron baru bagi rakyat. Kredibilitas
mereka salah satunya ditunjukkan dalam
kemampuannya berolah kanuragan[51]
atau dalam term lokal disebut
kajagauan. Kajagauan Jalil sebagai satu-
satunya orang yang berani melawan
penindasan Kiyai Adipati Danureja jelas
menemukan ruang kosong di hati rakyat
Banua Lima yang tidak berdaya oleh
penindasan itu. Tidak heran apabila ia
kemudian muncul sebagai pemimpin
dengan pengikut yang banyak dari
kalangan mereka. Sementara itu,
penobatan Hidayat sebagai sultan oleh
gerakan Jalil tentu dapat dikatagorikan
sebagai sebuah revolusi dari kelas
bawah (jaba), dan penyebabnya tidak
lain adalah karena melemahnya kelas elit
(Sultan Tamjid) sebagaimana pendapat
Paige di atas. 3. Ideologi Asfek penting
lain di dalam sebuah gerakan sosial
adalah ideologi. Mengingat gerakan Jalil
muncul pada era kolonialisme Belanda,
maka kita dengan mudah menemukan
gejala navitisme sebagi ideologi gerakan
itu. Sebab, gejala navitisme menurut
Sartono Kartodirdjo hanya muncul pada
masa penjajahan sebagai reaksi terhadap
kekuasaan kulit putih.[52] Navitisme
sendiri adalah bentuk dari pengsakralan
gerakan perlawanan untuk kembali ke
tradisi. Ini terjadi ketika hegemoni politik
dan kebudayaan asing dirasa
mengancam identitas pribumi yang
terbungkus di dalam tradisi, di samping
telah menimbulkan kemelaratan dan
degradasi. Pada gerakan Jalil,
perlawanan terhadap Belanda
sesungguhnya dapat pula dibaca sebagai
upaya penegakkan kembali tradisi itu.
Ini terlihat dari proses penobatan
Hidayat sebagai sultan oleh rakyat Banua
Lima. Dalam hal ini mereka seakan
mengabaikan realitas politik, bahwa
Kerajaan Banjar masa itu telah menjadi
“milik” Belanda.[53] Dalam “kondisi
normal” proses suksesi itu seharusnya
melibatkan bangsa Barat itu untuk
dikonsultasikan. Namun sebagai bentuk
perlawanan, melalui peristiwa tersebut
rakyat Banua Lima seakan ingin
meromantiskan masa lalu mereka, ketika
kehidupan istana masih steril dari
campur tangan asing. Seiring dengan
dinobatkannya Hidayat, ibukota kerajaan
dipindahkan ke Amuntai, suatu tempat
yang kebetulan dahulunya adalah pusat
Negara Dipa, cikal bakal Kerajaan Banjar.
Berpindahnya istana dari Martapura ke
Amuntai seakan menunjukkan
“pulangnya” Kerajaan Banjar ke masa
lalu, ke pangkuan “ibu” yang
melahirkannya. Kuatnya nuansa
kemasalaluan di atas, memperlihatkan
adanya gejala navitisme di dalam
gerakan Jalil. 4. Basis Massa Gerakan Jalil
tumbuh di Banua Lima, daerah
pertanian utama kerajaan. Fakta ini
membuat kita dapat menduga, bahwa
seperti umumnya sebuah gerakan sosial,
gerakan Jalil pun berbasiskan petani di
pedesaan. Faktor penyebab utama dari
bangkitnya gerakan itu adalah beratnya
beban pajak yang dikenakan kepada
para petani. Dengan ditambah
kesewenangan kepala daerah mereka,
maka semakin lengkaplah alasan petani
Banua Lima memilih jalan
pemberontakan sebagai saluran protes
mereka. Petani, kata Joel S. Migdal, yang
sering digambarkan sebagai masyarakat
yang melulu bekerja di sawah, apatis,
fatalistik, mendahulukan keluarga
ketimbang kepentingan ekonomi, dan
tidak mempunyai orientasi ke depan,
sekonyong-konyong melakukan aksi
protes, pemberontakan, sehingga
mengejutkan dunia luar.[54] Fenomena
ini menurut M.Z. Arifin Anis dapat
memperlihatkan, bahwa petani ternyata
turut memainkan peranan penting
dalam transformasi sosial dan politik,
serta cukup potensial untuk membangun
suatu perubahan secara radikal.[55] Jika
dikaitkan dengan gerakan Jalil, pendapat
Anis di atas barangkali dapat dibuktikan
dengan beberapa hasil gerakan, seperti
terdepaknya Danureja dari konstelasi
politik Banua Lima, tidak efektifnya
kekuasaan Sultan Tamjid di wilayah itu,
serta terancamnya kebutuhan pangan
Belanda dengan pemblokiran Banua
Lima sebagai lumbung padi kerajaan.
Namun kemenangan terpenting dari
sudut pandang adat dan tradisi adalah
dengan ternobatkannya Pangeran
Hidayat sebagai sultan oleh rakyat.
Dalam hal ini, rakyat yang telah kenyang
oleh penderitaan itu terjelma menjadi
sebuah ancaman potensial bagi
eksistensi Belanda sebagai pemegang
otoritas politik untuk urusan semacam
itu. Gerakan Jalil Dalam Lanskap Tradisi
Seperti telah terurai sebelumnya, dalam
proses pelegitimasiannya, gerakan Jalil
diwarnai oleh adanya interaksi Jalil
selaku pemimpin gerakan dengan
Pangeran Hidayat, seorang pangeran
yang tersingkir dari tahta kerajaan.
Hubungan mereka merefleksikan
interaksi dua golongan yang selalu ada
di dalam tradisi politik masyarakat
Banjar, yaitu antara kaum jaba dengan
kaum bangsawan. Tradisi ini bermula
ketika Ampu Jatmika membuat sepasang
patung di Candi Agung yang dianggap
sebagai wakil dewa di dunia untuk
melegitimasi kekuasaannya di Negara
Dipa. Sesudah penguasa pertama ini
meninggal, posisi sepasang patung itu
digantikan oleh pasangan Putri Junjung
Buih dan Pangeran Suryanata sebagai
sumber legitimasi politik bagi Patih
Lambung Mangkurat. Dari keturunan
pasangan raja itulah tercipta kaum
bangsawan Banjar yang kemudian
terdikotomi dengan kaum jaba selaku
golongan rakyat biasa. Hubungan kedua
golongan itu bersifat vertikal, antara
yang diabdi dengan pengabdi. Dalam
kaitan ini, gerakan Jalil sebetulnya
bukanlah kasus unik dalam sejarah
Banjar. Pada abad ke-16 ketika kerajaan
Negara Dipa telah digantikan Negara
Daha, saat itu di Banjarmasih, sebuah
kampung di daerah pesisir tumbuh
sebuah gerakan yang juga dipelopori
oleh kaum jaba. Serupa dengan gerakan
Jalil, kemunculan gerakan itupun
disebabkan oleh adanya penindasan
ekonomi berupa pupuan (upeti) yang
dilakukan elit kerajaan. Terkisah dalam
forklor populer, Patih Masih sebagai
kepala Banjarmasih berhasil menggalang
kekuatan bersama empat kepala suku
Ngaju yang mendiami empat kampung
yang berdekatan dengan Banjarmasih.
Mereka yang tergabung dalam front
pesisir ini bersepakat untuk bangkit
melawan Negara Daha yang berada di
pedalaman. Perlawanan perlu dilakukan,
sebab menurut Patih Masih: “daripada
kita masih menjadi desa senantiasa kana
sarah dangan pupuan maantarakan
kahulu…” Untuk melegitimasi gerakan
itu, Patih Masih cs kemudian
menghubungi Pangeran Samudra,
seorang pangeran yang tersingkir dari
tahta Negara Daha. Ini tergambar dari
sambungan ucapan sang patih: “…hangir
kita barbuat raja (membuat kerajaan
baru) kalau ia ini (Pangeran Samudra)
yang saparti chabar orang itu cucu
Maharaja Sukarama yang diwasiatkannya
manjadi raja.” Singkatnya, gerakan Patih
Masih yang kemudian dibantu
Kesultanan Demak berhasil merevolusi
Kerajaan Hindu Daha menjadi Kerajaan
Islam Banjar dengan Banjarmasih (kelak
disebut Banjarmasin) sebagai ibukota.
Sesuai wasiat kakeknya, Pangeran
Samudra kemudian dinobatkan sebagai
raja dengan gelar Sultan Suriansyah.
Seperti terbentuknya Negara Dipa,
terbentuknya Kerajaan Banjar pun
ternyata dipelopori oleh kaum jaba.
Sementara Pangeran Samudra yang
merepresentasikan kaum bangsawan
berposisi sebagai pelegitimasi atas
kerajaan baru tersebut. Sama halnya
dengan Lambung Mangkurat, Patih
Masih juga berkedudukan selaku
mangkubumi kerajaan. Kurang lebih tiga
abad berikutnya, pola interaksi semacam
itu kembali terlihat dalam gerakan Jalil,
di mana Jalil tampil sebagai wakil kaum
jaba, dan di pihak bangsawan tampil
Pangeran Hidayat. Senasib dengan
Pangeran Samudra, Hidayat pun adalah
seorang pangeran yang tersingkir dari
tahta. Jika gerakan Patih Masih
terlegitimasi ketika berhubungan dengan
Pangeran Samudra, hal itu pun terjadi
pada gerakan Jalil ketika ia berhubungan
dengan Pangeran Hidayat. Serupa pula
dengan Pangeran Samudra yang
dinobatkan sesuai wasiat kakeknya
(Maharaja Sukarama), Hidayat pun
dinobatkan berdasarkan wasiat kakeknya
(Sultan Adam). Satu hal yang cukup
menonjol dari proses “berkerajaan” di
dalam gerakan Jalil adalah dominannya
peranan kaum jaba. Sebenarnya selain
Hidayat selaku sultan, ada lagi elit
bangsawan yang menduduki kedudukan
penting, yakni Pangeran Wira Kesuma
sebagai mangkubumi[56], namun peran
tokoh ini seperti tenggelam oleh
dominasi Jalil, si jaba yang hanya
menjabat Kiyai Adipati.[57] Dominannya
peranan kaum jaba ini sesungguhnya
hanya ada pada Kerajaan Banjar pada
masa awal dan menemukan idealisasinya
pada zaman legendaris Negara Dipa.
Tidak heran jika kita menemukan
banyak kesamaan antara gerakan Jalil
dengan gerakan Patih Masih seperti
tergambar di atas. Meski kedua gerakan
ini dipisahkan oleh rentang waktu yang
sangat panjang, namun keduanya diikat
oleh tradisi politik yang sama, yaitu
tradisi Negara Dipa. Namun demikian,
tidak seperti gerakan Patih Masih yang
sanggup melestarikan hasil revolusinya
selama berabad-abad, gerakan Jalil gagal
dalam hal yang sama. Kegagalan itu
terutama disebabkan oleh berubahnya
realitas politik di tengah masyarakat
Banjar. Patih Masih berhasil dengan
gerakannya, karena pada masa ia hidup
sumber legitimasi politik masih berada
di tangan kaum bangsawan. Sedangkan
pada masa Jalil, legitimasi itu ternyata
harus pula dicari dari sumber baru,
yaitu Pemerintah Belanda. Penguasa
kolonial ini sejak akhir abad ke-18
berhasil secara resmi menempatkan diri
sebagai “kaum ketiga” di dalam
“stratifikasi politis” masyarakat Banjar.
Ketika tak ada restu dari “kaum ketiga”
ini terhadap gerakan Jalil, maka buyarlah
segala cita-cita gerakan. Kedudukan
kaum bangsawan pada masa itu rupa-
rupanya tak lagi sakti sebagai “wakil
dewa” di dunia, sehingga fungsinya
sebagai sumber legitimasi politik tak lagi
ampuh di dalam realitas. Memang,
realitas baru pada masa itu sudah
terlanjur rapuh untuk menjadi pondasi
bagi tegaknya tradisi lama
Sumber: Norpikriadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar